Selamat Datang

Selamat membaca. Semoga bermanfaat !

Kamis, 31 Mei 2012

KERAJINAN KERAMIK DESA MALAHAYU


       Pada pertengahan April 2012, kami berkunjung ke sebuah desa pengrajin keramik di Jawa Tengah, tepatnya Desa Malahayu, Kabupaten Brebes. Berbekal info dari internet bahwa desa ini memiliki banyak pengrajin keramik dan tidak jauh dari tempat ini terdapat pula sebuah waduk yang dinamai Waduk Malahayu, kami berangkat dengan optimisme tinggi.
       Karena berangkat dari Cibinong sudah tengah hari, kami sampai di kota Brebes pk. 18.00. Suasana kota Brebes dimalam hari tidak merata ramainya. Dibeberapa tempat tampak sangat sepi dan gelap karena hanya ada penerangan seadanya. Sementara keramaian sesungguhnya berpusat di sekitar alun-alun. Karena kami kesulitan mencari makanan yang cocok dengan selera, akhirnya kami menuju Tegal. Setelah makan malam di sebuah restoran milik jaringan Pringsewu Group di Rita Mall, kami bermalam di Tegal.
Sebenarnya kami tidak perlu bermalam di Tegal seandainya berangkat lebih pagi dari Cibinong. Dengan melewati jalur Pantura dan Tol Bakrie, selepas pintu tol langsung belok ke kanan ke arah Kuningan. 
       Pada pagi hari sekitar pukul 06.30 kami sudah meninggalkan hotel menuju Brebes. Hanya memakan waktu sekitar 2 jam kami sudah sampai di Desa Malahayu. Karena berbekal info dari internet yang menggambarkan tempat ini sedemikian rupa, tentu saja kami terkejut karena suasana sesungguhnya tidaklah sedemikian adanya.
       Pada saat pertama memandang gapura desa, sudah terlihat tulisan "Selamat Datang Di Desa Wisata Keramik Malahayu". Tetapi di kiri jalan hanya tampak satu saja toko yang memajang keramik. Sedang di kanan jalan, hanya ada satu rumah pengrajin yang tampaknya hanya menghasilkan beberapa buah keramik dalam rentang waktu yang cukup lama. Itu terlihat dari tumpukan keramik yang sudah berlumut dan ada beberapa saja yang baru dalam tahap penjemuran.

Guci hasil kerajinan keramik Desa Malahayu.
       Kami memutuskan untuk menghampiri rumah pengrajin terlebih dahulu. Ketika kami datang disambut hangat oleh pemiliknya yang ternyata mantan karyawan di salah satu pabrik keramik di Purwakarta. Melihat dari dekat memang hasil keramik gerabahnya yang  berbahan dasar tanah liat sangat mirip dengan yang di Plered, Purwakarta. Tetapi ada yang mengejutkan yakni harganya yang ketinggian. Untuk sebuah pot diameter 30cm yang masih mentah dihargai Rp. 15.000 perbuah. Bentuknya masih kasar dan belum dicat. Sedangkan untuk benda yang sama tetapi sudah dicat, kami biasa memperolehnya dengan harga Rp. 9.000 dan sudah diantar pula sampai Cibinong!
       Kami kemudian menghampiri toko satu-satunya milik Pak Aji, yang ramah dan bercerita bahwa dahulu ada empat orang pengusaha keramik di desa Malahayu, tetapi kemudian bangkrut dan tinggal dia seorang yang masih jalan usahanya. Ternyata benar, dibagian dalam tokonya terdapat beberapa pengrajin yang sedang bekerja. Ditengah-tengah ruang kerja itu ada sebuah tungku pembakaran yang berukuran besar berbentuk oven dengan pintu seukuran pintu rumah. Tampaknya usaha ini masih berjalan cukup lancar.
       Menurut Pak Aji, pembeli dari dalam dan luar kota datang sendiri ke desa Malahayu dan mengangkut sendiri belanjaan mereka. Tidak ada layanan kirim untuk pembelian partai sekalipun. Walaupun demikian, tampaknya pesanan dari langganan cukup banyak, terlihat dari jejeran-jejeran keramik yang sudah jadi dan sedang disortir. Ada yang menarik, keramik-keramik itu benar-benar masih hangat, fresh from the oven, kayak roti aja!
       Model keramik yang dihasilkan oleh Pak Aji bahan dasarnya adalah kaolin, jadi hasilnya seperti porselen. Bila dibandingkan dengan porselen dari China, memang akan tampak sekali perbedaannya. Porselen China putih bersih dengan motif yang berwarna biru terang dan jelas. Sedangkan yang lokal Malahayu masih berwarna krem, motif masih tenggelam warnanya dan hasil akhirnya masih tampak sedikit kasar. Seperti pot bulat yang harusnya benar-benar bulat, tetapi yang ini tampak sedikit oval. Dan masih terdapat bercak-bercak pada gambar motifnya yang menjadikan kualitasnya tidak seprima keramik impor. Tetapi dari segi harga, jauh dibawahnya. Untuk sebuah guci diameter 20cm dan tinggi  70-80cm yang kualitasnya sedikit dibawah porselen China dihargai Rp. 145.000 perbuah. Untuk ukuran yang sama tetapi dengan kualitas tampilan lebih prima, kami pernah melihat di Pasar Ular, Jakarta dihargai Rp. 750.000 perbuah.
       Guci-guci inilah yang kami boyong akhirnya. Setelah selesai memilih-milih, para karyawan mengepak barang-barang dengan sangat rapi dan mengikat dus-dus dengan kencang. Hal itu memberi gambaran bahwa mereka biasa menangani pembelian partai besar. Mereka tampak cekatan dan teliti.
       Akhirnya kunjungan ke Desa Malahayu harus kami akhiri. Kami bergegas menuju arah Jakarta agar tidak kemalaman sampai dirumah.