Selamat Datang

Selamat membaca. Semoga bermanfaat !

Senin, 25 Agustus 2014

LIKU-LIKU MENGURUS BPJS MANDIRI

       Tahun 2014 diawal bulan Agustus, aku mengurus BPJS di tempat tinggalku. Sebelumnya aku sudah mencoba mendaftarkan diri secara online dari laptopku di website BPJS. Tetapi lalu lintas website itu sangat sibuk sehingga sulit untuk membukanya. Pada saat sudah terbuka dan sampai pada tahap memasukkan data, ada satu kolom yakni tanggal lahir yang tidak bisa diketikkan data. Sungguh melelahkan.
       Akhirnya pada pagi hari berikutnya, sekitar pukul 9 pagi, aku pergi ke kantor BPJS untuk mengambil formulir. Maksud hati setelah mengisi data-data akan langsung dikembalikan, tetapi ternyata tidak bisa demikian karena untuk mengembalikan data, peserta harus mengambil nomor antrian. Pada pukul 07.30 nomor antrian sudah habis. Karena itu aku kembali ke kantor BPJS pada keesokan harinya pada pukul 06.30 dengan membawa semua berkas-berkas yang diperlukan yakni lembaran formulir yang sudah diisi dan ditandatangani oleh pemohon dan ditempeli pasphoto ukuran 3x4, foto copy KK dan KTP. Tapi apa yang terjadi saat aku tiba di lokasi?
       Aku menuju pintu gerbang yang masih terkunci, tampak orang-orang hanya santai duduk dibawah pohon, sebagian lagi duduk di trotoar dan ada juga yang sedang ngopi di warung didekatnya. Aku tidak menemukan antrian orang yang sedang berbaris tetapi deretan-deretan helm dan botol minum kemasan yang diletakkan berjajar-jajar sebagai pengganti orang yang antri.
      Ternyata antrian telah mengular. Aku sudah berada di posisi ke 84 saat itu. Mengapa aku bisa tahu, itu karena antrian dibuat dalam 4 barisan. Masing-masing barisan berisi 25. Ketika aku bertanya jam berapa mereka yang mendapat nomor antrian kecil itu tiba dilokasi. Jawabannya adalah pukul 2 dinihari. Astaga.
       Pagar dibuka tepat pukul 07.30. Sesaat sebelum satpam sampai didepan pagar, para calon peserta bergegas menuju barisan antrian menggantikan tugas antrian helm dan botol minum mereka. Tidak ada kericuhan, semua berjalan tenang. Para helm dan botol yang ditinggalkan oleh pemiliknya, didiskualifikasi. Akhirnya aku mendapat nomor antrian 78. Lumayan, tetapi tetap saja akan lama. Menurut yang sudah pernah antri sebelumnya, nomor 78 selesai kira-kira pukul 15.00.
       Satu persatu calon peserta menuju ke pelataran gedung dan dipersilahkan duduk dibawah tenda yang sudah disediakan. Sementara itu satpam memanggil 25 peserta pertama untuk memasuki gedung. Ada sekelompok orang yang memasuki gedung tanpa nomor antrian, ternyata mereka adalah peserta yang hendak mencetak kartu dan mereka yang hendak merubah data.
       Ketika nomor antrian didalam sudah sampai nomor 7, jam menunjukkan pukul 08.30 ada seorang bapak paruh baya yang menghampiriku dan bertanya berapa nomor antrianku. Dengan sopan aku menjawabnya,"78, Pak. Masih lama", sambil tersenyum. Bapak itu lalu menyodorkan nomor antriannya padaku sambil mengatakan bahwa ia tidak jadi mengantri karena data-data yang dibawanya masih kurang. Ia akan kembali lagi keesokan hari. Saat menerima nomor antriannya yang ternyata adalah nomor, 28! Aku sangat berterima kasih padanya. Tetapi ada kejadian yang sangat menggelitik pada saat itu. Disebelah kananku ada seorang ibu yang begitu antusias mengajak aku menukar nomor dengannya. Nomornya 30. Aku menjawabnya," Kan, sudah dekat. Kita hanya beda 2 nomor, Bu". Tetapi dengan berbagai modus, dia berusaha menukar nomornya itu. Tetapi aku hanya tersenyum. Sedari aku duduk disampingnya selama 1 jam, kami tidak saling menyapa. Ia juga kelihatan tenang-tenang saja. Tetapi oleh karena kejadian yang kualami, ia berubah agresif dan penuh emosi sampai-sampai memakai jurus kata-kata bahwa anaknya sedang dirawat di ICU segala.
       Hanya berselang beberapa saat, seorang bapak dibelakangku meminta nomor antrianku yang 78 itu, alasannya untuk mengurus 2 KK sekaligus, tentu saja kuberikan. Lalu aku pergi meninggalkan tempat dudukku dan duduk disebelah seorang ibu yang berusia 64 tahun. Namanya Ibu Siti Aisyah. Aku mengetahui nama beliau keesokan harinya. Ibu itu tampak santai saja dan kami mengobrol seputar hal-hal ringan.
       Tak lama setelah itu, datanglah sepasang suami istri yang menghampiriku dan bertanya," Ibu ini yang tadi dapat antrian nomor muda ya?". Waduh...ada lagi nih. Dia lalu berkata, sebaiknya nomor itu diberikan kepada seorang ibu haji yang kehabisan nomor antrian. Ibu Haji itu datang dari Ciampea dan ini adalah kedatangannya yang kedua, dan tetap tidak mendapat nomor.
       Sebelum aku menjawab apa-apa, sudah ada orang yang menyeletuk dari belakang," Salah sendiri tuh Bu Haji, datangnya siang-siang, biar tiga kali datang juga enggak bakal dapat nomor kalo jam segini baru sampai. Kalau ibu ini dapat nomor kecil dikasih ama orang mah, itu udah rejekinya, Bu". Jawaban yang ketus tetapi memang benar adanya. Aku cuma senyum-senyum lantaran nomor antrian 78-ku telah diberikan pada bapak tadi.
       Maka pada pukul 11.30 terdengar lagi panggilan dari satpam agar peserta nomor antrian 25 sampai 50 dipersilahkan memasuki ruangan. Aku agak ragu, apakah akan terpotong antrianku dengan waktu istirahat para petugas BPJS. Tetapi sungguh beruntung, saat nomor 28 dipanggil, sang petugas berkata, setelah nomor antrian 28 waktunya istirahat. Lega sekali.
       Coba bayangkan, hanya ada 3 buah loket saja didalam sana. Loket I untuk penyerahan data peserta baru BPJS, yakni rombonganku ini. Loket II khusus untuk PNS, ABRI dan Perubahan Data. Loket III untuk mencetak kartu. Astaga, pantas lama sekali. Mengapa tidak ditambah lagi loketnya? Agar pelayanan bisa maksimal dan tak perlu menunggu hingga pukul 5 sore.
       Saat aku sudah selesai didata, aku memperoleh lembaran kertas berisi nomor Virtual Account dari 3 buah bank, yakni Bank BNI, BRI dan Mandiri. Saat keluar dari ruangan ada sepasang mata yang mempelototi aku, yakni milik si ibu yang bermodus tadi. Hihihi...
       Aku tidak berniat langsung menyelesaikan pembayaran dan mencetak kartu pada hari yang sama karena aku masih harus membeli sesuatu untuk keperluan anakku. Jadi aku membayar di ATM Mandiri dan kembali keesokan harinya. Aku kembali pada pukul 09.30 dan namaku dipanggil pukul 11.30. Saat akan mencetak kartu peserta diharapkan membawa KK asli, KTP pemohon, dan atau surat kuasa bila mewakilkan pada orang lain.
       Jadi kesimpulanku adalah berjubel-jubelnya antrian calon BPJS dikarenakan:
       1. Sedikitnya Kantor BPJS, contohnya di tempat tinggalku, satu kantor mengurusi orang di 40
           kecamatan.
       2. Sedikitnya loket pelayanan pendaftaran baru, contohnya ditempat tinggalku, hanya satu loket.
       3. Karena penyebab nomor 1 dan 2 menyebabkan calon peserta harus pagi-pagi mengantri walau
           dengan cara yang sedikit aneh dengan mewakilkan helmnya, botol minumannya ataupun sandalnya,
           sehingga tanda pengumuman bahwa antrian dimulai pukul 07.30 tidak berlaku.
       Oleh sebab itu, mudah-mudahan kedepannya, pemerintah dalam hal ini sebagai penyelenggara BPJS dapat membenahi dan meningkatkan mutu pelayanannya mulai dari pendaftaran calon hingga menjadi peserta   BPJS. Kita percaya pada kinerja pemerintah yang semakin hari akan semakin baik ini.



    

PENGALAMAN BEROBAT DENGAN DOKTER SPESIALIS SALURAN CERNA

       Terketuk hatiku untuk berbagi pengalaman yang dialami oleh salah satu anggota keluargaku dalam perjalanannya mencari kesembuhan dari penyakit wasir yang dialaminya. Sebut saja namanya Abang.
Abang berusia sekitar 20 tahun pada tahun 1987 ketika pertama kalinya ia mengalami pendarahan pada saat buang air besar. Abang tidak mengalami sakit perut ataupun mulas sebelumnya. Hanya saja ia sadar bahwa ia baru saja mengonsumsi minuman beralkohol walau hanya sedikit jumlahnya. Pendarahan itu berhenti dengan sendirinya dalam beberapa hari tanpa diobati. Sehingga Abang yakin pada saat itu ia menderita wasir.
       Karena usia muda, Abang tidak begitu peduli pada masalah kesehatan. Oleh sebab itu ia tidak menjalani pengobatan apapun. Pendarahan akan terjadi lagi apabila Abang kembali mengonsumsi minuman beralkohol dan memakan makanan yang terlalu pedas. Abang menyadarinya setelah kejadian berulang-ulang hingga tahun 1995, Abang baru mulai berpantang. Ia tidak lagi sering-sering minum minuman beralkohol dan makan makanan yang berbumbu tajam serta pedas.Tetapi namanya juga Abang, sesekali dilanggarnya aturan yang dibuatnya sendiri. Maka pendarahanpun akan kembali terjadi pada saat ia buang air besar.
       Pada tahun 2007, Abang mengalami pendarahan hebat tanpa melalui acara salah makan. Pendarahan terjadi hampir 1 minggu lamanya. Karena itu Abang agak khawatir dan mulai berobat pada salah satu dokter umum yang praktek tak jauh dari rumahnya. Obat yang diberikan adalah Anusol. Abang juga disarankan berolahraga dan berpantang makanan yang berbumbu tajam serta pedas dan tentu saja alkohol.
       Abang hanya sembuh sementara pada saat ia menggunakan obat saja, setelah itu pendarahan terjadi lagi. Abangpun mulai was-was karena perutnya kini mulai terasa panas dan sedikit melilit. Abang menghentikan pengobatan di klinik dokter praktek tersebut setelah 6 bulan tidak kunjung membaik. 
       Abang mulai berobat di Klinik Spesialis di bilangan Kebayoran Lama dan pada saat itu diberi Ardium. Pengobatan berlangsung kurang lebih 4 bulan. Pada pertengahan tahun 2008, Abang yang masih selalu mengalami pendarahan pada saat buang air besar, berobat di RS. Cinere. Oleh dokter spesialis penyakit dalam disana disarankan untuk dirontgen perutnya.
       Abang yang sudah kepalang tanggung berobat kesana kemari dan sangat  ingin segera sembuh akhirnya menjalani pemeriksaan rontgen. Hanya saja untuk rontgen perut, Abang harus berpuasa dahulu dan sesaat sebelum pemeriksaan, dimasukkanlah cairan ke dalam usus besarnya melalui anusnya. Istilahnya dipompakan cairan kedalam usus besarnya. Setelah cairan dipompakan Abang langsung difoto. Selesai difoto Abang disuruh BAB untuk mengeluarkan semua cairan tersebut.
       Ketika ditanya tentang proses rontgen tersebut, Abang cuma meringis dan berkata bahwa ia sungguh sengsara, begitu kira-kira tanggapan Abang. Tetapi  setelah hasilnya keluar, tidak ada kelainan berarti dan mengkhawatirkan yang dialami Abang. Dokter tidak menemukan ada benjolan dan lain-lain dalam foto rontgen. Abang diberi Sulcolon dan disarankan rajin berolahraga serta berpantang.
      Pengobatan tidak mengalami kemajuan apa-apa. setelah lebih dari 6 bulan, pendarahan mulai berhenti tetapi perut Abang sering mulas dan terasa panas. Abang merasa tidak nyaman tetapi karena sudah tidak berdarah lagi pada saat BAB, ia tidak mencari tahu penyebab mulas dan panas diperutnya lebih jauh.
       Pada awal tahun 2009, Abang kembali mengalami pendarahan. Kali ini diserta lendir. Abang sedikit khawatir dan mulai banyak bertanya pada teman dan kolega perihal penyakit wasir. Pada suatu hari, Abang yang sedang mengantar istrinya untuk kontrol IUD di sebuah rumah sakit swasta, bertanya kepada dokter spesialis kandungan istrinya tentang penyakit wasir dan metode pengobatannya.
       Tentu saja sang dokter tidak bisa menjelaskan secara rinci, tetapi beliau menyarankan agar Abang mencari seorang dokter spesialis penyakit dalam ahli saluran pencernaan, atau gastrolog istilahnya. Karena informasi inilah Abang menjadi optimis untuk memperoleh kesembuhan. Maka sejak hari itu Abang rajin browsing di Internet untuk mencari rumah sakit yang terdapat di Jakarta dan sekitarnya untuk mencari seorang Gastrolog.
       Akhirnya, didapatkanlah 2 buah rumah sakit swasta yang memiliki gastrolog, yakni RS Medistra dan RS MMC. Di RS Medistra ada 1 orang profesor doktor dokter spesialis gastrologi ini. Sedang di RS MMC saat itu ada 2, yakni seorang profesor doktor dokter spesialis gastrologi dan seorang dokter spesialis penyakit dalam ahli gastologi. Diputuskan oleh Abang untuk memilih RS MMC karena fee untuk prof-nya lebih murah Rp. 100.000. Abang memang pandai berhitung.
       Pertama kali bertemu dan berkonsultasi, sang prof. menanyakan secara rinci sekali perihal penyakit yang diderita Abang. Karena Abang sudah berobat kemana-mana, maka Abang membawa serta semua dokumen pemeriksaan serta resep-resep obatnya terdahulu. Sang prof. segera memutuskan Abang akan menjalani pemeriksaan kolonoskopi untuk mengetahui secara pasti penyebab pendarahannya.
       Hanya dua hari kemudian Abang sudah menjalani pemeriksaan tersebut. Abang berpuasa selama 8 jam dan diberi obat pencahar ringan untuk membersihkan saluran cernanya. Pagi-pagi sekali Abang sudah tiba di RS MMC dan masuk ke ruang operasi. Ternyata Abang pada saat itu sudah dinyatakan Suspect Cancer.
Prof. yang menangani adalah Prof. Dr.dr. H. A. Aziz Rani, SpPD-KGEH.
       Setelah keluar dari ruang steril, Abang dinyatakan bebas kanker dan tumor. Hasil foto menunjukan adanya pembengkakan pada usus besar Abang. Prof. langsung mengambil tindakan STE atau mengempiskan pembengkakan tersebut. Rupanya Abang mengalami radang pula pada usus halusnya. Abang diberi antibiotik dan probiotik. Abang juga tidak dirawat. Hanya beristirahat selama 6 jam di ruangan One Day Care.
      Seminggu kemudian Abang kembali kontrol ke RS dan dinyatakan sudah sembuh. Sejak saat itu hingga kini Abang tidak pernah lagi mengalami pendarahan pada saat BAB, pun rasa panas dan mulas diperutnya.
Kini sudah tahun 2014 dan Abang hanya kembali 2 kali ke prof. untuk sekedar berkonsultasi bila Abang merasa kurang fit. Sungguh luar biasa.
       Bagi yang membutuhkan informasi mengenai jadwal praktek Prof. Aziz Rani, silahkan menghubungi 
       RS. MMC Kuningan, Jakarta. Sebagai informasi tambahan, kini sudah ada beberapa Dokter Spesialis Penyakit Dalam Kedokteran Gastroenterologi dan Hepar di sana, juga yang spesialis bedah saluran cerna dewasa maupun anak-anak.
Semoga bermanfaat. Tuhan memberkati.