Selamat Datang

Selamat membaca. Semoga bermanfaat !

Sabtu, 14 Februari 2015

MENGINTIP KERAJINAN KERAMIK DI BANDUNG (BAGIAN DUA: KEBON JAYANTI)


       Saat melintas di Jalan Stasiun Lama, Kelurahan Kebon Jayanti, Kecamatan Kiaracondong, lalu lintas padat karena disepanjang pertigaan terdapat banyak pedagang kaki lima yang menjajakan sayur mayur yang membuat kemacetan. Tetapi setelah memasuki jalan sekitar 200 meter, tepatnya sebelum sampai jembatan, jalan sudah lengang dan tampaklah sebuah toko yang menjual kerajinan keramik. Namanya adalah Perusahaan Kerajinan Keramik "Putra Saluyu" milik pasangan Bapak Jauhari yang berasal dari Garut dan Ibu Maesaroh yang ternyata masih kerabat dekat dari Pak Wawan, pemilik kerajinan keramik dari Sukapura, tak jauh dari Kebon Jayanti.

Lorong menuju kedalam pabrik "Putra Rukman"
       Kisah perjalanan industri keramik di Kebon Jayanti ini lebih memilukan lagi karena sebelum krisis moneter masih ada sekitar 38 toko yang bergerak dibidang kerajinan keramik dan beberapa diantaranya memiliki perusahaan kerajinan keramik. Tetapi setelah krisis moneter melanda, hanya tersisa 4 saja yang bertahan. Dan yang sangat tragis, awal tahun 2015 ini gugur lagi dua perusahaan sehingga tersisalah 2 saja yang masih beroperasi. Pak Jauhari sejak beberapa tahun yang silam memindahkan perusahaannya keluar dari daerah Bandung ke Garut dan Cianjur karena ongkos produksi yang tinggi. Alhasil, perusahaannya masih bisa bertahan.
       Keramik yang dihasilkan oleh perusahaan keramik ini berbeda dengan milik Pak Wawan. Keramik "Putra Saluyu" lebih memilih memproduksi jenis piring hias, teko hias, guci, pajangan serta tempat payung. Warna-warnanya cerah dengan motif aneka bunga dan hiasan dengan dasar keramik putih. Pangsa pasar yang dibidik oleh Pak Jauhari dan Ibu Maesaroh adalah Indonesia bagian timur, khususnya Papua. Terlihat dari tumpukan kardus-kardus besar yang merupakan paket yang siap dikirim ke Papua dalam beberapa hari mendatang. Karena perusahaannya berada diluar Bandung maka Beliau harus bolak-balik mengangkut hasil kerajinannya setiap beberapa hari.

    
        Tepat disebelahnya terdapat juga sebuah perusahaan keramik milik Pak Oma Rukman, nama perusahaannya adalah "Putra Rukman". Saat pertama memasuki toko sekaligus pabrik keramik tersebut, saya harus melewati sebuah lorong yang dipenuhi kardus. Sebelum akhirnya saya sampai di 'surga keramik' yang menawarkan banyak sekali jenis kerajinan keramik mulai dari pot yang berukuran mini sampai diameter  50 cm. Ada juga vas, tempat payung, piring hias serta guci aneka model.

    
       Selain keramik berwarna dasar putih biru, terdapat juga yang berwarna hijau dan coklat. Harganyapun sangat terjangkau, mulai dari Rp. 8.000 sampai ratusan ribu. Selain pabrik yang ditempatinya sekarang yang juga sekaligus adalah rumahnya yang ditempatinya bersama dengan isteri dan keluarga dari putranya, Pak Oma memiliki sebuah pabrik lagi di daerah Kopo yang khusus memproduksi pot-pot berukuran besar serta pesanan khusus. Beliau menawarkan saya untuk berkunjung ke pabriknya tersebut, tetapi karena keterbatasan waktu, saya mengurungkan niat dan pasti pada kunjungan berikut akan mewujudkannya.

    
      Pada saat ingin berpamitan, saya berpapasan dengan putera dari Pak Oma yang berjalan memakai alat bantu. Rupanya putera beliau terkena sakit kanker tulang dan baru saja selesai menjalani pengobatan untuk jangka waktu yang cukup lama. Semoga tetap diberi karunia kesehatan dan usaha yang lancar. Semoga lain waktu dan kesempatan bisa bersilahturahmi kembali.


MENGINTIP PENGRAJIN KERAMIK DI BANDUNG (BAGIAN SATU: KELURAHAN SUKAPURA)


       Pada pertengahan Februari 2015, saya berkesempatan liburan ke Bandung. Waktu yang cuma seharian ini dimanfaatkan sebaik mungkin dengan mengunjungi sentra keramik di Bandung, tepatnya di kecamatan Kiaracondong.
       Pada kesempatan yang pertama, yang saya kunjungi adalah Bapak Wawan, pemilik Kosimkeramik yang berada di Gang Salak, kelurahan Sukapura. Nama Kosimkeramik diambil dari nama ayahanda Pak Wawan, Pak Kosim. Pada saat kunjungan kali ini, sangat kebetulan saya bertemu dengan keduanya.
       Kerajinan keramik yang ditekuni Pak Wawan saat ini adalah pekerjaan yang sudah dilakukan turun temurun mulai dari kakeknya yang pada awalnya adalah pengrajin gerabah. Saat ini hanya ada satu saja industri keramik yang bertahan di kelurahan Sukapura. Dahulu sebelum krisis moneter melanda, konon ada enam perusahaan serupa yang berkembang pesat didaerah ini. Ciri khas dari keramik produksi Pak Wawan adalah pada proses pembakaran dan pewarnaannya.

    
       Keramik yang baru dibentuk akan dijemur terlebih dahulu selama lima sampai satu minggu lamanya. Pembakaran pertama dilakukan selama kurang lebih 5 jam dengan suhu sekitar 700 derajat celsius. Kemudian akan diberi lapisan warna dan dibakar kembali pada suhu 1300 derajat celsius selama kurang lebih tujuh jam. Penanganan akan berbeda tergantung dari warna keramik yang diinginkan. Untuk warna-warna terang semisal putih dan krem, suhunya lebih rendah dalam pembakaran dibandingkan dengan yang diberi lapisan warna gelap. Hasil akhir dari bakaran yang tekniknya dikerjakan ditempat ini menampilkan warna yang glossy dan tahan lama serta tidak mudah tergores.
       Adapun jenis keramik yang masih dikerjakan saat ini adalah pot dengan ukuran mulai dari diameter 20cm sampai dengan yang berdiameter 100cm. Pak Wawan menerima pesanan pot dengan rentang waktu pengerjaan sekitar satu bulan lamanya. Adapun motif pot yang dihasilkan adalah polos dan jenis tempelan atau motif timbul.
       Untuk harganya relatif lebih tinggi dibandingkan dengan jenis pot yang sama tetapi dengan teknik pembakaran yang berbeda, karena akan berbeda pula kekerasan serta tampilan akhirnya. Untuk pot berdiameter terkecil dapat diperoleh seharga Rp. 45.000 dan diameter terbesar dengan rentang harga Rp. 300.000 sampai Rp. 600.000. Untuk pot pesanan tertentu harga sangat bervariasi.

Pot yang sudah siap dikirim.
       Pak Kosim bercerita, pada awal tahun 70-an, saat Beliau masih muda, perusahaan yang dimilikinya ini sangat terpencil letaknya. Jalan didepan rumahnya hanyalah berupa pematang sawah. Tanah-tanah disekitarnya masih berupa hamparan sawah. Pada dekade tahun 80-an, sudah mulai banyak warga pindahan yang bermukim di kelurahan Sukapura ini, hingga akhirnya pada saat ini, tempatnya terletak ditengah-tengah pemukiman padat dengan gang yang sempit dan hanya dapat dilalui oleh satu kendaraan beroda empat. Pada dekade itulah perusahaan kerajinan keramik berkembang dengan baik didaerah ini.
       Pada saat krisis moneter melanda, satu persatu perusahaan keramik ini berguguran, dengan hanya menyisakan satu saja pengrajin keramik yang bertahan yakni miliknya dan kini sudah diwariskan kepada puteranya, Pak Wawan. Beberapa tahun yang lalu, perusahaan miliknya masih membuat berbagai model guci dan vas serta model-model pot yang lain. Bahkan permintaan akan jenis guci berukuran besar sempat datang dari Pontianak, padahal di kota Singkawang juga terdapat sentra pengrajin keramik. Semua itu karena ciri khas hasil kerajinan dari Sukapura ini yang berwarna cerah semacam hijau dan krem. Sedangkan yang dihasilkan di Singkawang rata-rata hanya berwarna coklat. Karena permintaan semakin menurun, akibat dari mahalnya ongkos produksi yang merupakan dampak langsung dari konversi minyak tanah ke gas, kini Pak Wawan hanya memenuhi permintaan pasar berdasarkan pesanan. Pesanan yang datang kebanyakan datang dari  Jakarta terutama daerah Rawa Belong dan Senayan. Volume pesanan berkisar sekitar 100 buah perkali pengiriman.
       Tampaknya Pemerintah Daerah masih memperhatikan usaha kecil semacam ini, karena secara berkala ada pameran yang diadakan dan para pengrajin ini berhimpun dalam satu wadah naungan dan binaan dari dinas pemberdayaan masyarakat. Semoga usaha mereka dapat bertahan ditengah-tengah gempuran masuknya keramik impor dari China dan juga semakin mahalnya biaya produksi.

BERSAMBUNG KE BAGIAN DUA.