Saat seseorang mendapatkan cobaan dan kesusahan dalam hidupnya, seringkali terlontar kalimat pertanyaan yang ditujukan kepada Tuhan ataupun kepada dirinya sendiri, seperti"....sampai kapan harus menderita begini...?" atau pertanyaan sejenisnya yang kesemuanya adalah bentuk dari keputusasaan dan kebuntuan yang dihadapi seseorang dalam suatu masa kehidupannya.
Sedangkan bila seseorang sedang mengalami suatu pencapaian dalam hidupnya, misalnya meraih keberhasilan atau memperoleh apa yang diinginkannya dalam kehidupannya, kata-kata yang terucap adalah rasa syukur dan terima kasih pada Tuhan, yang telah membimbing dan menguatkan imannya dalam pencapaian tersebut, juga rasa terima kasih pada orang-orang disekelilingnya atas bantuan dan dorongan, nasihat dan amanat serta doa dari mereka. Bila sedang dalam masa-masa kesuksesan itu,tidak pernah ada seseorangpun yang akan melontarkan, "..sampai kapan saya akan seperti ini..?"
Jangan berhenti bermimpi untuk hari esok yang lebih baik. Semua akan tercapai bila dibarengi dengan kerja keras. Dan, jangan lupa berdoa untuk memulai hari. Kita boleh berencana, Tuhanlah yang menentukan.
Selamat Datang
Selamat membaca. Semoga bermanfaat !
Selasa, 07 Agustus 2012
Kamis, 02 Agustus 2012
BERANI MIMPI BERANI KERJA KERAS
Awal tahun 2000, kami ditawari sebidang tanah didaerah kecamatan Bojonggede, tepatnya desa Bojong Baru. Mendengar kata "Bojonggede" sebenarnya sudah membuat kami kurang berminat, mengingat pada tahun-tahun sebelumnya banyak beredar kabar dan issue kurang mengenakan tentang daerah ini. Konon di Desa Bojonggede sampai akhir era 90-an bukanlah daerah pemukiman maupun usaha bagi warga WNI non-muslim. Bukan itu saja, warga lokalpun baru mengijinkan adanya warga luar berdagang dan bertempat tinggal di daerah ini sekitar tahun 1980-an untuk etnis tertentu saja, semisal suku Minang.
Kami adalah WNI keturunan dan non-muslim pula. Kabar dan berita yang beredar menyangkut SARA saat itu tidak jauh dari pelarangan/penyegelan dan pembubaran bahkan pembakaran tempat ibadah non-muslim dan pelarangan bagi warga keturunan untuk berusaha didaerah ini. Warga keturunan yang dimaksud adalah Tionghoa. Bila keturunan Arab, malah akan mendapat fasilitas biarpun tanpa surat ijin keterangan apapun. Istilahnya orang Arab adalah cucu Nabi. Bahkan banyak pendatang dari Arab ini yang kemudian membuka usaha pengobatan dan bergelar Habib. Tak terbilang berapa Habib disekitar tempat kami ini. Dan posisi mereka sangat diperhitungkan dalam masyarakat.
Hanya karena satu-dua hal kami akhirnya mau sekedar mengiyakan untuk meninjau terlebih dahulu dan mengajukan penawaran yakni karena letak tanahnya berada di Desa Bojong Baru, bukan Bojonggede dan juga karena calonya. Sang calo adalah teman dari suami dan juga teman dari ayah mertuaku. Sedangkan tanah yang ditawarkan adalah milik warga asli Bojong Baru yang berkerabat dengan calo tadi.
Pertemuan pertama berjalan baik dan kami mengajukan penawaran, ketika itu harga tanah masih Rp. 50.000 / m2. Untuk saat itu masih terasa agak mahal karena untuk menuju ke tempat ini masih harus melalui perkampungan yang sangat sepi dan notabene masih hutan bambu. Tetapi sang pemilik dengan sangat antusias menyatakan bahwa kelak tanah miliknya ini akan tepat berada dipinggir jalan raya. Tentu saja kami senyum-senyum karena memang belum mendengar hal semacam itu dari pihak manapun. Kemudian karena beberapa hal, kami menunda rencana pembelian tanah tersebut.
Kami adalah WNI keturunan dan non-muslim pula. Kabar dan berita yang beredar menyangkut SARA saat itu tidak jauh dari pelarangan/penyegelan dan pembubaran bahkan pembakaran tempat ibadah non-muslim dan pelarangan bagi warga keturunan untuk berusaha didaerah ini. Warga keturunan yang dimaksud adalah Tionghoa. Bila keturunan Arab, malah akan mendapat fasilitas biarpun tanpa surat ijin keterangan apapun. Istilahnya orang Arab adalah cucu Nabi. Bahkan banyak pendatang dari Arab ini yang kemudian membuka usaha pengobatan dan bergelar Habib. Tak terbilang berapa Habib disekitar tempat kami ini. Dan posisi mereka sangat diperhitungkan dalam masyarakat.
Hanya karena satu-dua hal kami akhirnya mau sekedar mengiyakan untuk meninjau terlebih dahulu dan mengajukan penawaran yakni karena letak tanahnya berada di Desa Bojong Baru, bukan Bojonggede dan juga karena calonya. Sang calo adalah teman dari suami dan juga teman dari ayah mertuaku. Sedangkan tanah yang ditawarkan adalah milik warga asli Bojong Baru yang berkerabat dengan calo tadi.
Pertemuan pertama berjalan baik dan kami mengajukan penawaran, ketika itu harga tanah masih Rp. 50.000 / m2. Untuk saat itu masih terasa agak mahal karena untuk menuju ke tempat ini masih harus melalui perkampungan yang sangat sepi dan notabene masih hutan bambu. Tetapi sang pemilik dengan sangat antusias menyatakan bahwa kelak tanah miliknya ini akan tepat berada dipinggir jalan raya. Tentu saja kami senyum-senyum karena memang belum mendengar hal semacam itu dari pihak manapun. Kemudian karena beberapa hal, kami menunda rencana pembelian tanah tersebut.
Langganan:
Postingan (Atom)