Selamat Datang

Selamat membaca. Semoga bermanfaat !

Kamis, 02 Agustus 2012

BERANI MIMPI BERANI KERJA KERAS

       Awal tahun 2000, kami ditawari sebidang tanah didaerah kecamatan Bojonggede, tepatnya desa Bojong Baru. Mendengar kata "Bojonggede" sebenarnya sudah membuat kami kurang berminat, mengingat pada tahun-tahun sebelumnya banyak beredar kabar dan issue kurang mengenakan tentang daerah ini. Konon di Desa Bojonggede sampai akhir era 90-an bukanlah daerah pemukiman maupun usaha bagi warga WNI non-muslim. Bukan itu saja, warga lokalpun baru mengijinkan adanya warga luar berdagang dan bertempat tinggal di daerah ini sekitar tahun 1980-an untuk etnis tertentu saja, semisal suku Minang.
       Kami adalah WNI keturunan dan non-muslim pula. Kabar dan berita yang beredar menyangkut SARA saat itu tidak jauh dari pelarangan/penyegelan dan pembubaran bahkan  pembakaran tempat ibadah non-muslim dan pelarangan bagi warga keturunan untuk berusaha didaerah ini. Warga keturunan yang dimaksud adalah Tionghoa. Bila keturunan Arab, malah akan mendapat fasilitas biarpun tanpa surat ijin keterangan apapun. Istilahnya orang Arab adalah cucu Nabi. Bahkan banyak pendatang dari Arab ini yang kemudian membuka usaha pengobatan dan bergelar Habib. Tak terbilang berapa Habib disekitar tempat kami ini. Dan posisi mereka sangat diperhitungkan dalam masyarakat.
       Hanya karena satu-dua hal kami akhirnya mau sekedar mengiyakan untuk meninjau terlebih dahulu dan mengajukan penawaran yakni karena letak tanahnya berada di Desa Bojong Baru, bukan Bojonggede dan juga karena calonya. Sang calo adalah teman dari suami dan juga teman dari ayah mertuaku. Sedangkan tanah yang ditawarkan adalah milik warga asli Bojong Baru yang berkerabat dengan calo tadi.
       Pertemuan pertama berjalan baik dan kami mengajukan penawaran, ketika itu harga tanah masih Rp. 50.000 / m2. Untuk saat itu masih terasa agak mahal karena untuk menuju ke tempat ini masih harus melalui perkampungan yang sangat sepi dan notabene masih hutan bambu. Tetapi sang pemilik dengan sangat  antusias menyatakan bahwa kelak tanah miliknya ini akan tepat berada dipinggir jalan raya. Tentu saja kami senyum-senyum karena memang belum mendengar hal semacam itu dari pihak manapun. Kemudian karena beberapa hal, kami menunda rencana pembelian tanah tersebut.

       Awal tahun 2002, sang calo kembali menawarkan tanah yang sama, tetapi dengan keadaan yang sudah berbeda. Saat itu, Pemda Cibinong sedang mendata tanah penduduk yang akan terkena proyek jalan besar. Kami sibuk mengikuti perkembangannya dan terus memantau serta mengajukan penawaran kembali. Pemilik tanah menyatakan bahwa beliau hanya mau menjual tanahnya pada keluarga kami. Entah alasan apa yang membuatnya tetap mau bertahan selama 2 tahun itu dan tidak berpaling kelain hati.
       Pada satu ketika, sang pemilik tanah bersedia melepas tanahnya sesuai penawaran kami dengan 2 syarat. Syarat pertama, jangan membangun gereja. Dalam hati kami berkata, ya tidak mungkinlah membangun gereja diatas tanah seluas 600 m2. Apakah beliau tidak tahu juga betapa sulitnya perizinan untuk membangun sebuah gereja? Kami mengiyakan dengan pasti bahwa tempat itu tidak akan dijadikan gereja. Syarat kedua, beliau tidak menginginkan uang tunai tetapi sebuah mobil kijang bekas. Tentu saja hal itu mudah. Pada tahun-tahun tersebut, suamiku adalah calo mobil bekas.
       Maka dalam waktu sangat singkat, tanah itu sudah jadi milik kami dengan patok dan batas-batas yang jelas kelak akan berada persis dipinggir jalan raya Pemda Cibinong atau Jalan Tegar Beriman.  Harga saat itu sudah mencapai Rp. 125.000 /m2. Yang unik dari tanah ini adalah lebarnya yang mencapai 60 m dan terletak persis dipinggir jalan raya. Kami mengikuti setiap hari perkembangan pembangunan jalan, juga pada saat buldoser menggaruk tanah dan mengangkut tanah didepan batas tanah kami. Pembangunan terus berlanjut dan selesai sekitar akhir 2005.
Saat awal pengaspalan jalan, ala-alat berat sebagian dititipkan  Pemda ditempat kami
       Pada saat itu, kami sudah memiliki beberapa bidang tanah dibelakang tanah kami. Sepanjang tahun 2005, kami menabung untuk memperluas lahan yang saat itu dipakai sebagai rumah bibitku. Aku sangat tertarik untuk mempunyai sebuah nursery. Maka aku hunting kemana-mana untuk mendapatkan berbagai jenis tanaman dan mempelajari segala aspek yang berhubungan dengan tanaman dan perawatannya. Sampai pada bulan November 2005,  Kebon Bojong sudah siap beroperasi dan dibuka untuk umum.


       Puji Tuhan! Hal ini adalah kebahagiaan terbesar dalam hidupku. Kami benar-benar merasakan merintis usaha baru dari awal. Ada banyak kenangan indah yang terekam dalam ingatan kami saat-saat awal usaha kami. Kami banting setir menjadi petani amatiran dan mencari info pertanian dari mana-mana. Kami berburu ke Lembang, Bandung, sampai ke Tangerang dan Ciapus, Bogor. Menyambangi sesama petani tanaman hias dan berkenalan dengan banyak pedagang tanaman hias. Kami memiliki mobil pick up kijang bekas pada awalnya. Dengan mobil yang kondisinya sudah kurang maksimal itupun alias butut, kami dapat menjelajahi sentra-sentra tanaman hias dan mengumpulkan banyak koleksi tanaman hias.
       Pernah suatu ketika saat kami berada di Lembang, kami beristirahat di pinggir pematang sawah karena kecapaian. Saat itu kami tertawa sambil berharap tidak ada teman atau kerabat yang memergoki kami dalam keadaan seperti itu. Bila kami pergi ke dusun sentra tanaman hias, "dandanan" kami lumayan mirip dengan para petani disana. Setelan jeans belel dan kemeja lengan panjang yang tebal serta topi adalah pakaian wajib kami. Tetapi tidak pernah terbersit sekalipun dalam pikiran kami bahwa pekerjaan bertani  ini lebih rendah dibandingkan pekerjaan lain.
       Kamipun menaikkan dan menurunkan muatan bersama-sama dengan buruh angkut lainnya baik dalam cuaca cerah alias panas terik maupun dalam gerimis dan hujan lebat. Kami bahkan harus mengikat muatan kami sendiri dan sesekali turun dipinggir tol untuk memastikan muatan tidak miring dan tali tidak terlepas. Kami selalu berpergian berdua saja saat itu. Tetapi pernah juga sesekali kami mengajak putri kami yang saat masih berusia 8 tahun. Sungguh suatu pengalaman yang tidak akan pernah kami lupakan dan mungkin juga tidak akan pernah terulang kembali. Kadang-kadang kami rindu masa-masa itu. Nah, pada saat kerinduan itu datang, kami menyempatkan diri mengunjungi tempat-tempat tersebut dan bersilahturahmi dengan para sahabat petani disana.
       Ketika "booming" tanaman hias diawal tahun 2006, kami benar-benar tinggal memetik hasilnya. Aku mengumpulkan banyak jenis aglaonema dan anthurium yang kemudian harganya benar-benar menjadi "gila". Aku pernah membeli secara borongan dengan harga perpohon antara Rp. 75.000 s/d Rp. 150.000 dan kemudian dapat dijual seharga Rp. 750.000 s/d Rp. 2.500.000. Itupun karena kami adalah penjual tangan pertama, harga itu masih termasuk murah karena para pembeli kami yang kebanyakan adalah pedagang tanaman hias juga dan masih bisa menjual lagi dengan harga antara Rp. 3.000.000 s/d Rp. 4.500.000 ! Demikian juga seterusnya hingga tanaman yang semula berharga Rp. 1.000.000  berakhir ditangan kolektor hingga harga puluhan juta. Fantastis! Dan untuk jenis koleksi langka, biasanya ada kolektor yang menitip jual dan kami mendapat komisi cukup lumayan.
       Sampai akhir tahun 2007 kami mengumpulkan banyak hasil keuntungan dan kemudian semuanya kami investasikan dalam bentuk tanah dan rumah. Dalam kurun waktu itu, tanah kami seluas hampir 5.000 m2 dan semuanya adalah tanah-tanah dibelakang nursery kami. Dan kami berdua menjadi lebih "coklat" karena bersahabat karib dengan alam terutama sinar matahari. Kami menjadi pasangan yang bahu-membahu dan selalu saling membantu.
       Karena kesibukan luar biasa itulah anak-anak menjadi sedikit terlantar. Mereka tidak mengeluh, tetapi kami merasa bersalah karena sering pulang kerumah dalam keadaan kecapaian dan tidak bisa bercengkerama dengan mereka seperti biasanya. Juga kadang-kadang bila kami diluar kota, mereka terpaksa dititipkan pada kakek-neneknya.
       Oleh sebab itu, ditahun 2008 saat pasaran tanaman hias mulai jenuh dan pencinta tanaman lebih condong meningkatkan perawatan tanaman daripada membeli tanaman hias, kami memperkecil rumah bibit dan merancang kembali nursery dengan membangun toko yang lebih permanen dan fokus pada perawatan dan peralatan pertanian. Lahan pembibitan seluas 500 m2 kami ubah menjadi lapangan futsal indoor, seiring boomingnya futsal di berbagai pelosok, termasuk di desa Bojong Baru. Dengan perubahan itu kami dapat menghemat biaya perawatan tanaman. Nah, tanaman-tanaman yang tersisa tersebut diobral berkala dalam program akhir pekan di toko kami. Dalam kurun waktu itu, kami membangun sebuah rumah mungil di tanah ini seluas 70 m2 supaya pada akhir pekan, kami dapat menginap dan lebih sering bersama-sama anak-anak.
Rumah  Bojong tahun 2008 sebelum ditempati

Rumah Bojong tahun 2009 setelah ditempati

Taman dan kolam  tahun 2009
 
       Awal tahun 2009, kami memutuskan untuk pindah ke Bojong Baru. Karena rumah disini typenya mungil, maka kami membangun tanah di belakangnya untuk dapur dan ruang keluarga. Awal tahun 2010, rumah secara keseluruhan sudah selesai dan siap untuk ditempati.
       Satu hal yang ingin kami jadikan catatan disini adalah persahabatan kami dengan tetangga senantiasa baik-baik saja dan tidak pernah ada gejolak berarti. Semua dapat dikomunikasikan dua arah. Selama kami tinggal disini, selalu saja ada kegiatan ibadat dan pertemuan. Kami adalah keluarga Katolik yang aktif di Lingkungan dan Gereja, maka sebagian besar acara melibatkan cukup banyak anggota Gereja dan Lingkungan. Sejauh ini tidak pernah ada kesalahapahaman maupun kecemburuan ataupun kecurigaan dan semacamnya dari masyarakat sekitar. Mereka tahu benar acara-acara kami karena kami selalu mengkonfirmasikan juga kepada mereka. Hubungan yang baik dan saling menghormati selalu kami jaga. Apabila satu ketika mereka menghimbau agar satu jenis kegiatan ditangguhkan, itupun kami penuhi sebagai tanda saling menghargai untuk satu-dua alasan yang sangat masuk akal. Ternyata komunikasi itu penting sekali dalam hidup ini, bukan melulu komunikasi dengan alat-alat komunikasi modern dan canggih, tetapi komunikasi dari hati ke hati juga sangat penting.

Rumah Bojong  di tahun 2012


       Ditahun 2011, papaku wafat. Mamaku tinggal bersama kami. Dimulailah babak baru dalam hidup kami dimana ada anggota baru dan membawa suasana baru yang lebih hidup dan menyenangkan. Mama menjadi tempat curhat baru buat anak-anak kami yang memasuki masa remaja. Dia mengerjakan banyak tugas yang tidak dapat aku kerjakan karena kesibukkanku yakni mengajari anak-anak memasak dan membuat kue. Dengan adanya orangtua di rumah kami, kami jadi lebih sering dikunjungi sanak famili. Hidup jadi lebih berwarna lagi.

       Kini dipenghujung tahun 2012 kami bersiap untuk merubah wajah lagi. Nursery kami akan tutup pada awal September 2012. Lahannya akan dibangun pertokoan, mungkin sekitar 4 toko. Total kami akan memiliki 11 toko nantinya dan salah satunya akan kami pakai sendiri sebagai Toko Kebon Bojong dan sisanya akan dikontrakan. Semua ada hikmahnya. Umur kami bertambah, anak-anak beranjak dewasa. Kami juga memiliki impian lain dalam hidup kami. Salah satunya melihat tempat-tempat indah di belahan bumi lain.

       Kita boleh merencanakan dan memimpikan apa saja dalam hidup kita. Kita boleh berusaha sekeras-kerasnya dalam  mewujudkan semua impian kita. Diatas itu semua ada rancanganNya-lah yang terbaik terwujud untuk kita. Percayalah pada Tuhan. Diatas segala kerja keras dan doa, Tuhan memilihkan yang terbaik dan tepat untuk terwujud menjadi kenyataan dalam hidup kita. Bagi-Nya, tidak ada yang mustahil. Sebab itu, sampaikan impian dan pengharapanmu pada-Nya. Bekerjalah diladang-Nya dengan segala aturan yang ditetapkannya-Nya, pasrahkan pada-Nya, maka upah kita akan dibayar dengan pantas.
Tuhan memberkati!