Selamat Datang

Selamat membaca. Semoga bermanfaat !

Jumat, 01 Maret 2013

ZIARAH SEMANA SANTA DI LARANTUKA 2013

     
        Prosesi Semana Santa adalah tradisi satu-satunya didunia dan hanya ada di Larantuka, Flores, yang merupakan tradisi peninggalan dari bangsa Portugis. Prosesi penghormatan dan perarakan menghormati Bunda Maria dan Tuhan Yesus ini sudah berlangsung selama 5 abad lebih dan sampai saat ini sudah menjadi  agenda acara tahunan dan diikuti oleh umat Katolik dari berbagai daerah di Indonesia dan mancanegara. Tahun 2012 yang lalu tercatat ribuan orang yang mengikuti prosesi ini. Puji Tuhan, pada Pekan Suci tahun 2013 ini, kami berkesempatan berangkat ke Larantuka untuk mengikuti acara tersebut.
       Menurut laporan, peserta pada tahun 2013 berkurang karena kesulitan dalam hal akomodasi dan transportasi. Keterbatasan informasi serta hotel dan penginapan yang memadai dan juga sedikitnya jumlah bus wisata yang tersedia di P. Flores menjadi kendala utama. Sebuah hotel di Larantuka bahkan sudah full booked untuk event ini pada tahun 2014 mendatang. Sedangkan untuk mendapatkan penginapan lain juga sama sulitnya, semisal menginap di biara susteran, kita juga perlu jauh-jauh hari menghubungi pihak biara susteran.
       Kami berangkat bersama dengan rombongan umat yang bergabung dalam Francis Tour dan didampingi oleh Romo Laurentius Tueng, OFM dari Paroki Kramat, Jakarta.  Rombongan kami berjumlah 25 orang.
Berangkat dari Jakarta pada hari Selasa, 26 Maret 2013 dengan rute penerbangan Jakarta-Denpasar-Kupang-Ende. Memakai maskapai penerbangan Merpati Airlines dengan pesawat Boeing 737 dari Jakarta-Denpasar-Kupang dan berganti pesawat kecil menuju Ende. Perjalanan memakan waktu total  kurang lebih 8 jam.
     
Transit di Bandara Internasional Ngurah Rai, Denpasar, Bali.
Banyak gerai dan restoran di Lounge Transit.

       Pelayanan untuk Loket Transit di Bandara Ngurah Rai sangat tidak efisien. Hanya ada satu pos yang melayani penumpang transit domestik dan para petugas tampak kewalahan melayani para penumpang yang berdesak-desakan tanpa antrian.
       Beruntung setelah lolos dari loket, kami memasuki Lounge yang cukup luas dan nyaman dengan banyak gerai, cafe dan restoran disekelilingnya. Setelah transit sekitar satu jam, kami berangkat menuju Kupang.


Tempat parkir kendaraan yang tampak lengang di Bandara El Tari, Kupang.

Didepan Bandara El Tari terdapat sebuah taman yang asri dengan monumen Komodo sebagai maskotnya.


Ruang tunggu keberangkatan yang hanya memiliki satu gerbang keberangkatan.
       Suasana di dalam ruang tunggu keberangkatan Bandara El Tari, Kupang saat itu sangat padat karena ruangannya yang kecil. Bila terjadi ledakan penumpang pada saat-saat tertentu seperti menjelang Paskah kali ini, maka antrian menjadi panjang dan kadang jadwal penerbanganpun sedikit molor.
       Karena tidak memiliki pendingin udara yang terpasang, maka udara terasa pengap dan panas. Hanya ada satu buah standing fan yang tampak diletakkan di salah satu sudut ruangan. Kami transit sekitar tiga jam karena saat pesawat kami hendak berangkat terjadi hujan deras yang menyebabkan pemindahan barang-barang bagasi tertunda.

Bandara di Ende, NTT.

Bersama Rombongan Francis Tour tiba di Ende.

Bandara yang memiliki latar belakang pemandangan pegunungan di kejauhan.

Rombongan berjalan kaki menuju lobby kedatangan.

       Penerbangan lanjutan dari Kupang menuju Ende menggunakan pesawat kecil karena kondisi bandara di Ende dengan landasan pacu yang pendek tidak memungkinkan pesawat jenis besar untuk mendarat. Pengalaman pertama naik pesawat dengan baling-baling cukup berkesan. Kebetulan cuaca cukup cerah karena sehabis hujan. Tiba di Bandara Ende dengan perasaan lega tiada bertepi.
       Selanjutnya kami menuju lobby untuk bertemu dengan Tour Leader Lokal, Sdri. Agnes Lelaona di Ende yang sudah menjemput kami. Kami akan mengunjungi Situs Rumah Pengasingan Bung Karno di Ende lalu menuju ke Moni untuk bermalam.














       Di Situs Rumah Pengasingan Bung Karno terdapat sebuah sumur yang konon airnya terasa manis. Rombongan kami berkesempatan mencoba rasa airnya. Yang pasti ketika kami membasuh muka terasa sangat segar karena udara yang demikian  panasnya  ketika itu. Setiap kami berjumpa dengan warga lokal, mereka tersenyum dengan ramah dan selalu berucap bahwa demikianlah panasnya tempat mereka. Selalu begini ucapannya," Apa kabar? Dari Jakarta, ya? Bagaimana kesannya di Flores? Panas, ya? Beginilah Flores....". Aduh...hopeless banget sama keadaan kampung halamannya sendiri. Ayo pemuda-pemudi Flores, bangun Flores dan buatlah maju tanah leluhurmu, supaya menjadi mutiara kebanggaan negeri.




Hamparan batu berwarna kehijauan.

       Di samping kiri rumah terdapat lahan kosong yang sedianya untuk taman namun hanya terdapat hamparan batu kali berwarna kehijauan yang di Jakarta dikenal sebagai batu Kupang dan menjadi penghias taman-taman. Menurut penuturan juru bicara di Situs Rumah Pengasingan ini, batu-batu tersebut memang merupakan salah satu produk/komoditi andalan untuk  dikirim keluar daerah dan didistribusikan ke seluruh tanah air. Ada sebuah tempat didekat tempat ini yang merupakan pusat eksploitasi batu tersebut.
      Perjalanan dilanjutkan menuju Hotel Flores Sare di Moni. Kota Moni terletak di dataran tinggi sehingga udaranya terbilang sejuk dibandingkan dengan daerah lain di NTT. Moni masih termasuk dalam wilayah Kabupaten Ende. Perjalanan melalui jalan aspal berliku mengitari bukit dan gunung. Yang membuat perjalanan tidak membosankan adalah pemandangan di sisi kanan dan kiri jalan yang merupakan jurang dan bukit berbatu yang asri. Pemandangan bentukan alam yang sangat indah dan menakjubkan. Tour Leader kami berkelakar bahwa sekilas pemandangan disana mirip dengan Guilin di Tiongkok.
       P. Flores memiliki lapisan tanah yang tipis dimana selebihnya adalah lapisan batu. Tumbuhan yang dapat tumbuh disana adalah yang tahan terhadap cuaca panas yang ekstrim. Kami sempat melewati ladang-ladang jagung yang mati karena curah hujan yang kurang pada musim tanam tahun ini. 

Lereng bukit disepanjang perjalanan dari Ende menuju Moni.
       Ketika akhirnya kami sampai di Moni, saat itu bertepatan waktu makan malam. Pihak hotel telah menyiapkan santap malam yang cukup lengkap. Hotel Flores Sare adalah salah satu hotel yang cukup baik di Moni. Tarif menginap di hotel ini adalah Rp. 500.000 /malam untuk Kamar VIP dan Rp. 300.000/malam untuk Kamar Standar. Kamar VIP berukuran 35 M2 dengan satu double bed ukuran King size, sebuah lemari pakaian dan meja. Ada kamar mandi didalam kamar yang terpisah antara bak mandi dan shower. Sedangkan Kamar Standar berisi satu double bed Queen size atau twin bed, sebuah lemari dan meja. Kamar mandinya juga didalam. Hanya ada beberapa kamar saja yang memakai kelambu untuk ranjangnya,  karena di tempat ini memang terdapat cukup banyak nyamuk. Semua kamar tidak memakai pendingin udara karena suhu di Moni cukup sejuk. Perjalanan dari Moni menuju puncak Kelimutu hanya satu jam dengan kendaraan beroda empat.

Hotel FLORES SARE MONI memiliki 2 lantai.

Taman dibagian dalam hotel.
       Makan malam disediakan pihak hotel di Ruang Makan terbuka. Menunya adalah ikan bakar, ayam goreng, tumisan bunga pepaya, mie goreng, sambal dan kerupuk. Tidak ketinggalan buah pisang sebagai pencuci mulut. Setelah makan malam kami beristirahat untuk memulihkan tenaga dan mempersiapkan stamina   untuk perjalanan keesokan hari ke Puncak Kelimutu.

Jalan setapak  menuju puncak Kelimutu.

Terdapat undakan tangga batu di lereng yang terjal menuju puncak Kelimutu.

Danau Tiga Warna. Danau yang berwarna hijau (depan) dan danau berwarna merah (belakang). Danau berwarna merah airnya berubah menjadi agak coklat pada awal bulan Maret.  Bila datang lebih awal, kami dapat menyaksikan warna airnya yang kemerahan.

Danau berwarna hitam. Ini adalah satu-satunya danau yang airnya dapat diambil dan tebingnya dapat dituruni. Sedangkan dua danau yang lain tidak dapat dituruni karena dalam dan terjal.

Wisatawan lokal dan asing sedang mengabadikan keindahan Danau Kelimutu. Letak  kedua Danau Tiga Warna ( hijau dan merah) saling bersisian, sedangkan yang berwarna hitam terletak diseberangnya. 

mamiberanimimpi


mami berani mimpi
Kera liar yang tinggal di Gunung Kelimutu mengambil pose dan posisi yang bagus ketika difoto.  

       Perjalanan menuju Kelimutu dapat ditempuh dalam waktu satu jam dari Moni dengan kendaraan pribadi maupun umum. Banyak bus-bus wisata dan mobil jenis sedan maupun SUV yang sudah parkir ditempat yang disediakan ketika kami tiba pk. 05.00 WIT. Karena masih gelap, maka jangan sampai lupa membawa senter. Kami harus bergegas agar dapat mengabadikan matahari terbit di puncak Kelimutu.
Tetapi karena rombongan kami juga terdiri dari 7 orang lansia yang bersemangat muda, kami berjalan bersama saling menyemangati satu sama lain sehingga kami bersama-sama tiba di puncak pada pukul 06.10.
       Dipuncak Kelimutu kami berjumpa dengan petugas penjaga suaka alam dan hutan lindung Kelimutu bernama Pak Markus yang sangat ramah. Beliau dengan sukarela membantu para wisatawan mengambil foto dan dengan panjang lebar menjelaskan dan menjawab banyak pertanyaan dari para wisatawan. Ada sembilan orang petugas yang berjaga bergilir berdua-dua setiap harinya. Sebagai penjaga suaka, Pak Markus selalu mengimbau pengunjung untuk bersama-sama menjaga kebersihan alam dan kenyamanan dengan tidak membuang sampah sembarangan. Tugas mereka juga untuk menjaga keamanan pengunjung, terutama dari kera-kera liar yang memang banyak sekali terdapat di suaka ini yang bilamana kita  lengah, mereka akan mengambil barang bawaan kita terutama kamera. Tugas lainnya menurut keterangan Beliau adalah menjaga tata susila terutama pada malam hari dimana ada saja pengunjung yang memanfaatkan situasi dan kondisi di Puncak Kelimutu ini untuk kegiatan asusila.
       Ibunda Pak Markus adalah penjaja makanan ringan satu-satunya di Puncak Kelimutu. Dagangannya cukup beragam seperti cemil-cemilan dan mie instan dalam kemasan siap seduh serta berbagai minuman hangat, seperti kopi instan seduh dan teh celup hangat. Karena letaknya di puncak gunung, maka harga makanan serta minuman juga mencapai puncaknya. Maklum, ada ongkos jalannya, begitu kira-kira kilah Pak Markus.
       Pukul 07.30 kami sudah mulai turun untuk menghindari sengatan panas matahari yang mulai terik. Kami langsung kembali ke hotel untuk sarapan dan check out. Perjalanan akan dilanjutkan ke kota Maumere di Kabupaten Sikka. Karena jarak antara Ende dan Maumere cukup jauh, maka kami akan singgah dibeberapa tempat.
       Ditengah perjalanan yang cukup panjang ini, kami mampir dibeberapa tempat seperti Seminari Tinggi Ritapiret dan Tempat Penampakan Bunda Maria Fatima di Lela.





Kapel di Seminari Tinggi Ritapiret.




Tampak depan Seminari Tinggi Ritapiret.



       Ketika singgah di tempat ziarah Patung Maria Fatima di Lela, tepat tengah hari sehingga matahari bersinar dengan sangat-sangat terik. Patung Maria ditempat ini asli didatangkan dari kota Fatima. Bunda Maria pernah menampakkan diri-Nya di pintu gerbang menuju Patung Maria ini diletakkan.
       Tempat ziarah ini cukup nyaman karena banyak ditumbuhi pohon besar dan terletak ditengah-tengah pemukiman penduduk. Banyak sekali pohon pepaya dengan buahnya yang lebat terlihat oleh rombongan kami. Ada beberapa diantara kami yang meminta pada penduduk setempat untuk dipetikkan buah pepaya dan kami membelinya. Mereka sangat antusias dan bergegas naik ke pohon untuk memetik buahnya. Alih-alih mau dibayar, mereka hanya tersenyum manis dan sukarela memberi. Bagi peziarah yang hendak ke kamar kecil dapat menumpang dirumah penduduk yang semuanya ramah-ramah dan secara sukarela mau meminjamkan kamar kecilnya. Mereka menolong tanpa imbalan.
       Persinggahan berikutnya adalah Seminari Tinggi Ritapiret. Kami mengadakan ibadat singkat di kapel lalu menyantap makan siang bersama-sama dengan para Pastor pembimbing di seminari. Sungguh suatu berkat tak terkira karena kami selalu disambut bagai tamu agung dan selalu disuguhi santapan yang sudah disiapkan dengan penuh kasih. Seminari tinggi ini memiliki ratusan calon imam Projo. Seminari ini pernah dikunjungi oleh Paus Yohanes Paulus II dan foto Beliau dipajang diruang depan seminari.
       Sebagai catatan, foto Paus Yohanes Paulus II adalah foto yang paling banyak dipajang oleh warga P. Flores karena beliau adalah satu-satunya Paus yang pernah datang kesana. Semua warga amat menghormati dan mencintai Beliau.
       Setelah itu kami melanjutkan perjalanan menuju Maumere dan melewati sebuah seminari tinggi tertua di NTT yakni Seminari Tinggi Ledalero. Kami tidak mampir karena keterbatasan waktu mengingat kami juga akan singgah sejenak dan berfoto bersama di lokasi Patung Kristus Raja, Maumere.

Patung Kristus Raja di Maumere, NTT.


Seminari Tinggi Ledalero.
       Menjelang sore kami sampai di Wailiti Beach Hotel untuk menginap. Hotel terletak dipinggir pantai Wailiti. Pantai ini tidak seperti Pantai Ancol, misalnya, karena sama sekali tidak berangin sehingga terasa sangat panas walaupun matahari telah condong ke barat. 
       Malam harinya kami menyantap makan malam istimewa berupa hidangan seafood disebuah restoran milik sebuah keluarga keturunan Tionghoa-Flores. Restoran ini memiliki view yang bagus karena tepat dibelakang restoran menghadap laut. Hidangan malam ini berupa lobster, ikan kerapu asam manis, sop kepala ikan khas Maumere yang disebut kuah asam dan ikan kerapu bakar pedas serta  tumis kangkung. Tak ketinggalan adalah sambal dabu-dabu. Malam harinya kami dapat tidur dengan sangat nyenyak karena kekenyangan dan kelelahan.
       
Pantai dibelakang hotel yang banyak ditumbuhi pohon bakau.

Pantai Wailiti tidak berombak dan tidak berangin.

Dermaga kapal yang sudah tidak digunakan.

Wailiti Beach Hotel 



Sunset at Wailiti Beach.
       Pagi-pagi sekali kami sudah bangun untuk mandi dan sarapan di hotel dan setelahnya kami harus check out. Perjalanan dilanjutkan menuju Nilo untuk beribadat syukur didepan Monumen Patung Bunda Maria dipuncak bukit Nilo, Maumere.
       Patung ini sudah terlihat dari jauh karena letaknya yang menghadap teluk Maumere dan seakan-akan sedang memandangi kota itu dari atas bukit. Perjalanan ditempuh dalam waktu satu jam dengan mengitari bukit yang jalannya sempit. Karena kami tidak mengadakan ibadat jalan salib, maka kami memarkir kendaraan didepan gerbang. Tetapi bagi peziarah yang hendak mengikuti ibadat jalan salib, mereka harus menempuh jalan cukup jauh. Disepanjang jalan menuju lokasi Monumen Patung Bunda Maria, terdapat perhentian jalan salib ditepi jalan. Jarak antara satu perhentian dengan lainnya cukup panjang dan berliku menaiki bukit yang landai. Cukup melelahkan bagi mereka yang berusia lanjut.
       Kami  hanya berjalan sekitar 200 m dari gerbang dan sampai didepan Monumen Patung Bunda Maria untuk berdoa bersama. Terdapat sebuah altar besar dan deretan bangku batu yang terbuat dari semen mengitari altar untuk berdoa dan keperluan ibadat. Suasana yang hening dan tenang membuat suasana doa menjadi khusuk dan hikmat. Setelah itu kami menuju Rumah Retret tidak jauh dari situ untuk merayakan Misa Ekaristi.
       Sebelum matahari tinggi, kami sudah meninggalkan tempat ziarah itu untuk menuju ke Hokeng yakni tempat kami menginap di Biara Susteran SSpS.



Rumah Retret.
     
Kapel Biara Susteran SSpS 
Fasad depan kapel.

Suasana di biara.

Biara Susteran SSpS tampak dari kejauhan.
       Suster Agnes, SSpS menyambut rombongan kami dengan hangat dan langsung mempersilahkan rombongan untuk santap siang diruang makan biara. Kami bertemu dengan para calon biarawati muda yang masih dalam masa pendidikan. Mereka sangat ramah dan hangat dan tentunya sangat bergembira menerima kedatangan kami. Bersama-sama dengan kami ada juga rombongan peziarah lain dari Jakarta, Bandung, Surabaya, Semarang dan Bali. Karena biara ini sangat luas dan memiliki banyak sekali kamar namun terpisah  dalam kavling-kavling yang berjauhan maka antara rombongan yang satu dengan yang lain tidak akan saling bertemu kecuali saat kedatangan dan kepulangan saja.
       Di biara ini para suster menanam sendiri semua jenis sayuran untuk kebutuhan sehari-hari, bahkan mereka memelihara ternak babi. Ada juga kebun alpukat yang sangat luas serta kebun kopi yang mengelilingi area biara. Mereka dapat memanen madu liar diarea perkebunan mereka sendiri. Aku tidak teringat untuk menanyakan berapa luas tanah dan lahan milik mereka, tetapi pada waktu pagi keesokan harinya, kami sempat berkeliling dan melihat-lihat kebun para suster yang kami perkirakan mencapai hektaran luasnya.
       Pada pukul 18.00 WIT kami mengikuti Misa Kamis Putih di Seminari Rendah San Dominggo, Hokeng. Letaknya berdekatan dengan susteran. Para calon imam dan Romo disana tampak sangat gembira dan antusias menyambut kedatangan kami. Maklum saja Seminari Rendah ini yang setingkat pendidikannya dengan kurikulum  SMA jarang sekali dikunjungi peziarah.
       Kurikulum yang diajarkan di Seminari ini sama seperti di SMU dan ditambah pelajaran Bahasa Latin dan Liturgi. Mereka dididik oleh para Iman dari Ordo Redemtoris, Ordo SVD dan Ordo Projo. Walau demikian tidak mengikat calon-calon imam ini untuk melanjutkan pendidikan Seminari Tingginya ke Ordo-ordo tertentu melainkan memberi kebebasan kepada mereka untuk memilih sesuai panggilan hatinya.
       Banyaknya jumlah  murid di seminari-seminari sering disinyalir sebagai aji mumpung bagi warga disana yang memang mayoritas beragama Katolik dengan lilitan kemiskinan dan keterbatasan ekonomi untuk memperoleh pendidikan gratis sampai perguruan tinggi. Seperti diketahui pada waktu-waktu yang lalu, pendidikan di seminari adalah gratis sepenuhnya mulai dari biaya pendidikan, asrama dan seluruh keperluan lainnya. Setelah mereka menamatkan pendidikan tinggi setara perguruan tinggi, banyak dari mereka yang mengundurkan diri menjadi imam.
       Seperti pernah dikatakan oleh seorang Pastor Kepala Paroki, bahwa mereka yang mendaftar menjadi calon imam ibarat sekelompok orang menaiki rangkaian gerbong kereta api. Setelah mencapai tingkat tertentu, hanya tinggal sekelompok saja yang kini ditempatkan dalam sebuah bus. Dan pada saat pentahbisan, jumlah mereka cukup diangkut dengan sebuah bajaj saja alias tinggal hanya tiga orang saja. Ironis memang, tetapi begitulah keadaannya.
       Tetapi karena meningkatnya biaya pendidikan dan biaya hidup serta keperluan sehari-hari, disertai dengan banyaknya institusi diluar negeri yang kini sudah tidak bisa lagi menjadi donatur, maka biaya pendidikan di seminari tinggi kini harus ditanggung oleh orangtua mereka masing-masing. Sedangkan biaya kebutuhan sehari-hari dan asrama digratiskan. Para imam di provinsial mencari dana bersama-sama demi kelanjutan pendidikan para calon imam ini di Ordo-ordo mereka masing-masing.
       Sebagai contoh, perjalanan rombongan kami kali ini adalah sebagai bentuk solidaritas kepada para calon imam dari Ordo OFM, dimana sisa pembiayaan perjalanan nantinya akan disumbangkan kepada mereka. Kunjungan kami ke seminari-seminari lainpun dimaksudkan agar dapat memberi sumbangsih dan tanda kasih kepada mereka. Sungguh, sebuah perjalanan wisata ziarah membutuhkan penghayatan iman akan kasih kepada sesama dan dengan demikian dapat menumbuhkan tali persaudaraan dan tali kasih kepada sesama. Hati yang terbuka dapat berbagi dengan sesama. Mereka membutuhkan uluran tangan para donatur dan pemerhati.
       Sebelum Misa dimulai, Pastor pembimbing mereka memperkenankan kami memasuki Catacombe atau gereja yang terletak dibawah tanah dan berkeliling disekitar seminari. Seminari ini sudah dimakan usia, terlihat dari dinding-dindingnya yang mengelupas dan bekas-bekas tambalan, plafon terasnya yang mulai lapuk serta kursi untuk umat yang kaki-kakinya mulai bergoyang dan berderit ketika diduduki.
       Adalah juga pengalaman pertamaku melihat dan mendengar langsung kaum pria Flores bernyanyi. Biarpun suaranya hanya suara pria, tetapi mereka membaginya dalam tiga suara berbeda dan mereka sungguh-sungguh bernyanyi dengan jiwa. Misa Kamis Putih adalah Misa yang sudah tidak memakai iringan musik setelah Lagu Kemuliaan. Lagu Pembukaan diiringi oleh kelompok musik memakai drum, gitar dan organ. Sungguh suatu pengalaman mengesankan melihat orang-orang muda calon imam itu menghayati lagu dan membawakannya dengan merdu. Puji Tuhan, mereka memang dikaruniai pita suara yang tebal sehingga dapat bernyanyi demikian merdunya. Tak kalah dirigentnya yang sangat bersemangat dan berkomunikasi dengan sangat baik dengan kelompok koornya. Puji Tuhan, Halleluya!
       Selesai Misa, Pastor pemimpin Seminari berterima kasih atas kehadiran kami dalam kata sambutannya dengan disambut riuh tepuk tangan. Romo pendamping kamipun memberi sambutan serta memperkenalkan Ordo OFM kepada para calon imam, siapa tahu kelak akan turut berkarya bersama imam berjubah cokelat. Romo Laurent pada malam itu menjadi Konsebran pada perayaan Misa Kamis Putih.
       Setelah Misa, kami menyempatkan diri mengikuti tuguran yang dilaksanakan di Catacombe. Setelah usai giliran kami, akhirnya kamipun berpamitan. Para pembimbing berkata bahwa mereka mendapat berkat berlimpah pada malam itu karena uang kolekte yang terkumpul mencapai Rp. 4 juta. Adalah hal yang tidak pernah terjadi sebelumnya dalam misa disana dapat mengumpulkan uang sebanyak itu dalam waktu begitu singkat. Mereka sangat bersyukur dan berterima kasih atas kebaikan hati para peziarah dari Jakarta. Puji Tuhan!

Misa Kamis Putih di Gereja Seminari Rendah San Dominggo, Hokeng, NTT.
Tampak depan seminari. Plafonnya sudah usang karena usia.

Tuguran di Catacombe.

Misa Kamis Putih juga diikuti oleh warga sekitar seminari.

Kubah di ruang tamu seminari.

Foto Paus Yohanes Paulus II didinding seminari. Mengingat  bahwa  Paus  Yohanes Paulus  II pernah
bertandang ke P.Flores.
       Keesokan harinya, pukul 04.00 WIT kami sudah bangun dan bersiap untuk mengikuti serangkaian prosesi Semana Santa di Larantuka. Pagi ini setelah sarapan roti dan teh manis, kami berangkat menuju kota Larantuka untuk mengikuti prosesi penghormatan kepada Tuan Ma di Kapel Tuan Ma. Tuan Ma adalah sebutan untuk Bunda Maria. Tuan Ana adalah sebutan untuk Tuhan Yesus.
       Prosesi penghormatan dilakukan dengan menyembah Patung Tuan Ma secara bergiliran. Umat telah berkumpul sejak pagi-pagi buta dari seluruh pelosok kota Larantuka dan daerah disekitarnya. Belum lagi para wartawan dan wisatawan dalam negeri dan mancanegara. Beruntung kami datang  pukul 06.30 WIT, jadi udara masih sejuk dan matahari belum terik. Mereka yang datang lebih siang akan menikmati terpanggang dibawah matahari Larantuka. Antrian kami hanya berjarak sekitar 50 meter dari gerbang kapel dan kami baru mendapat giliran masuk kedalam kapel satu jam setelahnya. Prosesi hanya berlangsung singkat saja yakni penyembahan dan meletakkan intensi doa didepan Patung Tuan Ma yang sudah berusia 500 tahun lebih. Lalu memberi persembahan dikotak yang telah disediakan. 
       Lilin-lilin persembahanpun harus diserahkan kepada petugas didepan kapel untuk nanti dinyalakan oleh para Mardomu atau Pendoa didalam kapel. Untuk menjadi Mardomu tidaklah mudah. Banyak dari mereka mendaftar dua tahun sebelumnya dan akan melalui serangkaian penyeleksian agar dapat lolos menjadi Mardomu.
       Para Mardomu telah berada di Kapel Tuan Ma sejak hari Rabu, dimana rangkaian Prosesi Semana Santa dimulai. Mereka terdiri dari ratusan orang yang bergiliran jaga dan bergiliran berdoa. Para Mardomu adalah orang-orang pilihan yang telah ditetapkan menjadi 'host'dari hajatan besar ini. Yang membedakan umat biasa dengan para Mardomu adalah pakaian mereka yang serba hitam dan memakai kain tradisional sebagai sarungnya. Yang wanita berkerudung hitam.

Sejak matahari terbit kami telah memasuki antrian menuju Kapel Tuan Ma dan Tuan Ana.

Pukul 07.00 WIT lautan manusia telah memasuki gerbang kapel.


Umat sangat tertib dan mematuhi arahan petugas.

Kapela Tuan Ma dan Tuan Ana tampak di depan.

Prosesi penyembahan dan penghormatan kepada Tuan Ma, umat bertelanjang kaki dan berjalan dengan lutut menuju ke depan Patung Tuan Ma untuk bersujud dan menyembah. Intensi doa yang sudah ditulis disecarik kertas diletakkan didepan patung.

Panas matahari menyengat setelah pukul 07.00 WIT.

Pelabuhan Laut didepan kapel.
       Ada kejadian kurang mengenakan ketika kami berbaris teratur menuju kedalam kapel. Serombongan peziarah dari Jakarta yang bukan dari kelompok kami menerobos melalui barisan kami. Para umat warga lokal membelalakkan mata mereka karena terkejut dengan tingkah laku peziarah. Kami menjadi sedikit malu karena mereka mengira rombongan kami yang berbuat demikian. Akhirnya Romo pendamping kami turun tangan dengan tidak membiarkan mereka menerobos kelompok kami dan menghentikan sebagian dari mereka. Dari puluhan orang kelompok peziarah itu hanya lolos sekitar 6 orang saja yang menerobos kami. Sungguh, amat memalukan membawa perilaku tidak menghargai jerih payah dan usaha orang lain serta tidak menghormati mereka yang sudah datang pagi-pagi buta dan mengantri dengan sabar. Kesannya seakan-akan orang dari Jakarta itu perilakunya demikian semua. Romo kami berkata dengan tegas kepada rombongan penerobos tadi,  yang kini sudah tidak kami perkenankan melintas memotong jalur antrian, bahwa kami semua disana sudah sangat lama mengantri dibawah terik matahari dan meminta mereka memperbaiki sikap agar menghormati umat yang lain. Mereka akhirnya mengundurkan diri dan kembali kebarisan belakang. Entahlah, apakah mereka sadar untuk mengantri ataukah  tidak jadi mengikuti prosesi sebab antrian sudah sedemikian panjang dan matahari sudah sangat menyengat. Hanya Tuhan yang tahu sebab kerumunan umat yang sedemikian banyaknya tidak memungkinkan kami untuk memperhatikan mereka lagi. 
       Niat untuk berziarah tetapi tidak memperbaiki kelakuan tentu tidak selaras bukan? Lewat kejadian itu kami dapat memeriksa batin kami masing-masing. Sudahkah kami mendapat suatu pencerahan dan membuka mata hati kami untuk suatu perbaikan kualitas iman kami terutama dalam menghargai sesama? Sudahkah kami meneladani Yesus Kristus dengan kerendahan hati-Nya yang mau melayani dan selalu mengampuni? Tuhan, kami masih selalu harus bertempur melawan ego kami untuk mengikut jalan-Mu, kuatkan kami ya, Tuhan.

Patung Bunda Maria Reinha Rosari, terletak tidak jauh dari Keuskupan Larantuka
dan Kapel Tuan Ma dan Tuan Ana.
       Selesai prosesi, kami menuju ke Keuskupan untuk menemui Bapa Uskup Larantuka, Mgr. Fransiskus Kopong Kung, Pr. Rencananya kami akan meminta berkat dari Beliau. Rombongan kami berjalan kaki menuju ke Keuskupan melewati Patung Reinha Rosari. Saat itu dari kejauhan tampak Sang Uskup berjalan menuju arah kami. Pucuk dicinta ulam tiba. Itulah karunia dan rahmat Tuhan karena kami dipertemukan dan mendapat berkat dari Beliau, dibawah pohon pula. Lalu dilanjutkan dengan sesi foto bersama. Bapa Uskup adalah pribadi yang hangat dan ramah. Beliau sangat senang berjumpa dengan rombongan kami.




Aku dan suami berfoto bersama Mgr. Fransiskus Kopong Kung, Pr.
 di depan  gerbang Keuskupan  Larantuka, NTT.


       Perjalanan kami dilanjutkan menuju Biara PRR dan Museum Makam Mgr. Gabriel Manek, SVD. Beliau adalah pendiri Kongregasi Puteri Reinha Rosari yang merupakan Ordo pribumi pertama di Flores. Mgr. Gabriel Manek, SVD wafat di Amerika Serikat dan jasadnya masih utuh ketika dipindahkan dan dipulangkan ke Flores.










Peti Jenasah Mgr. Gabriel Manek, SVD diletakkan dalam ruangan kaca.
       Kami singgah di Rumah Penginapan PRR untuk makan siang. Pada hari itu seluruh warga setempat sedang berpuasa. Kami menyantap nasi bungkus dengan lauk seadanya, kemudian bergegas mengikuti Prosesi Laut. Prosesi Laut adalah perarakan dengan kapal dan perahu motor untuk menjemput dan mengantar Tuan Menino atau Bayi Yesus menuju Kapel Tuan Ma lalu diarak bersama-sama memasuki Katedral Reinha Rosari untuk perayaan Misa Jum'at Agung tepat pukul 15.00 WIT atau jam tiga sore.
       Prosesi Laut dimulai sebelum pukul 11.00 WIT dimana matahari bersinar dengan teriknya. Kami menyewa sebuah kapal motor di TPI atau Tempat Pelelangan Ikan, bukan dari Pelabuhan Laut Larantuka karena menurut informasi disana terlalu padat dan kebanyakan adalah kapal motor angkutan untuk umum. Tetapi yang terjadi adalah rombongan kami naik bersama-sama umat lain terutama warga lokal yang juga akan mengikuti prosesi. Mereka sudah tidak mau tahu dengan rombongan siapa mereka ikut karena yang terpenting adalah dapat naik kesebuah kapal untuk mengikuti prosesi. Jadilah kapal motor kami penuh sesak. Kapal motor yang sedianya disewa untuk 25 orang jadinya menampung sampai lebih dari 70 orang. Kapal oleng kekiri dan kekanan karena overloaded.
       Menurut penumpang kapal yang adalah warga lokal, kapal-kapal pada hari Prosesi  Laut ini biarpun overloaded takkan tenggelam karena mendapat perlindungan dari Bunda Maria. Pada saat mendengar itu, rombongan kami hanya bisa nyengir saja, walaupun dalam hati berdoa semogalah demikian.
       Tepat pukul 11.00 WITA, Tuan Menino atau Yesus kecil keluar dari Kapel Tuan Ana dan menaikki  perahu dayung besar yang memiliki tudung berwarna hitam. Kapal dayung besar ini akan dikawal oleh belasan kapal dayung kecil menuju ke Larantuka. Iring-iringan ini tampak dari kejauhan sebagai rombongan  serba hitam. Setelah memasuki kota Larantuka, semua  penumpang turun dari kapal dan akan bersama-sama mengikuti perarakan dari Kapel Tuan Ma menuju Gereja Katedral Reinha Rosari, Larantuka.
       Sementara itu rombongan kami kembali ke Rumah Penginapan PRR untuk berganti pakaian dan membasuh muka lalu bergegas menuju ke Gereja Katedral Reiha Rosari Larantuka untuk mengikuti rangkaian acara selanjutnya, yakni Misa Jum'at Agung.

Gereja Katedral Reinha Rosari Larantuka, NTT.

Patung Tuan Ma akan memasuki Gereja Katedral Reinha Rosari Larantuka.
     

Suasana di dalam Gereja Katedral Reinha Rosari sebelum Misa Jum'at Agung dimulai.


Panitia sudah menyiapkan kursi tambahan di samping kiri dan kanan gereja.

Prosesi Laut yang diikuti ratusan kapal besar dan kecil.

Kapal oleng karena overloaded.



Kapal dayung yang membawa Tuan Menino diiringi kapal-kapal dayung kecil.



Peti Tuan Menino memasuki Gereja Katedral.

Patung Tuan Ma memasuki Gereja Katedral.
       Setelah perarakan yang sangat panjang, mungkin ratusan orang turut serta didalamnya sudah memasuki Gereja, Misa Jum'at Agungpun dimulai dan dipimpin oleh Uskup Larantuka, Mgr. Fransiskus Kopong Kung, Pr. Misa berlangsung khidmat dengan iringan koor yang suaranya sangat dahsyat dan merdu, membuat lagu-lagu terdengar seperti paduan suara malaikat surgawi. Sungguh, suara mereka bening dan merdu serta lagu-lagu yang dibawakan mereka menjadi berjiwa. Akan membuat merinding mereka yang mendengarnya dan membuat decak kagum, terutama bagi yang baru pertama kali ini mengikuti Misa di Flores. Begitulah cara orang Flores bernyanyi, kata Romo kami.
       Selesai Misa kami kembali ke Penginapan PRR dan pada akhirnya kami sepakat mengurungkan niat untuk mengikuti prosesi selanjutnya yakni perarakan Tuan Ma dan Tuan Menino mengelilingi kota Larantuka yang sedianya akan berlangsung mulai pukul 18.00 WIT sampai pukul 02.00 WIT dini hari. Kami benar-benar kelelahan setelah Prosesi Laut akibat kepanasan yang luar biasa. Maklum orang Jakarta yang biasa sehari-hari berada dalam ruang ber-AC harus menghadapi situasi seperti ini tentulah sangat melelahkan. Belum lagi di rombongan kami terdapat tujuh orang lansia. Kami akhirnya meninggalkan kota Larantuka menuju Hokeng dengan tergesa-gesa sebelum jalan-jalan ditutup untuk Prosesi Perarakan. Rombongan kami  kembali ke Biara Susteran SSpS. di Hokeng.
      Pagi harinya kami berpamitan kepada semua suster yang telah melayani kami selama dua malam. Perpisahan sungguh mengharukan. Para suster muda itu menawarkan diri mencucikan pakaian kotor kami dan hanya meminta bayaran berupa ucapan terima kasih. Sebagai sumbangsih atas kemurahan mereka, sebagian dari kami memborong produk-produk pertanian para suster ini berupa madu, asitaba (sejenis ramuan berupa salep dan minyak gosok untuk pegal-pegal), alpukat, kopi dan ada juga yang mau membayar untuk sepasang sepatu sandal yang dikenakan suster.
       Rombongan kami selalu terbantu oleh supir dan keneknya yang cekatan, Raymond dan Delly yang selalu  setia menaikkan serta menurunkan koper kami. Tak terhingga rasa terima kasih kepada kedua orang ini.                  
Kami menuju kota Maumere dan check in kembali di Wailiti Beach Hotel. Setelah itu kami pergi bersantai dipantai Sao Wisata yang lebih bersih dan pantainya berombak serta berangin. Sebagian peserta ziarah ada yang menyempatkan diri untuk berenang dilaut. Beberapa orang teman yang berenang mengatakan bahwa biota laut di pantai ini sangat beragam, ada kuda laut, bintang laut dan beraneka jenis ikan kecil serta bunga karang.
       Sebagian lagi dari kami duduk bersantai dan beramah tamah. Tak terasa, waktu makan siang telah tiba dan kami menyantap makan siang yang sudah disiapkan bagi kami ditepi pantai. Kalau ke pantai tentu tidak lupa untuk menikmati kelapa muda. Ada yang menggelitik kami karena kelapa muda disana ukurannya sangat kecil, tempurungnya tidak lebih besar dari kepalan orang dewasa. Mungkin karena saking panasnya cuaca di Flores membuat pertumbuhannya terhambat.
        Setelah puas bersantai, kembali ke hotel dan bersiap mengikuti Misa Malam Paskah di Gereja Katedral St. Yoseph, Maumere. Misa malam itu dipimpin oleh Uskup Maumere, Mgr. Kherubim Pareira, SVD.

Pantai Sao Wisata

Santai sejenak ditepi pantai.
       Kami berkesempatan bertatap muka dengan Uskup Maumere, Mgr. Kherubim Pareira, SVD dan berfoto bersama. Kami meminta berkat untuk keselamatan perjalanan pulang kami kembali ke Jakarta keesokan harinya.







       Kami check out pukul 08.00 WIT dan bergegas menuju Bandara Frans Seda, Maumere. Pesawat Merpati kami take off pukul 11.00 WIT dan transit di Makassar. Kami tiba di Bandara Soekarno-Hatta pukul 15.30 dengan aman dan selamat. Puji Tuhan!
       Semoga dilain kesempatan kami dapat kembali ke tanah Flores lagi. Tuhan memberkati!