Liburan Hari Kenaikan Isa Almasih 2012 yang lalu, aku dan pasangan pergi ke Klaten, tepatnya ke desa Melikan, Bayat. Liburan kali ini adalah Wisata Keramik di Jawa Tengah yang kedua, setelah sebelumnya pada bulan April 2012 kami ber-Wisata Keramik ke desa Malahayu, kabupaten Brebes.
Kali ini perjalanan banyak hambatan karena macet adanya perbaikan jalan di banyak titik mulai dari kota Cirebon sampai Semarang. Pengelupasan aspal dan pengecoran ulang serta pelebaran jalan membuat beberapa jalur terpaksa ditutup untuk keperluan alat-alat berat dan bahan material.
Sangat macet, bayangkan dari Cibinong pk. 05.30 sampai di Semarang pk. 21.30, kami hanya istirahat makan pagi dan makan siang sekitar total 2 jam. Sepanjang jalur banyak sekali pilihan resto dan warung makan. Makan pagi kami di tenda bubur ayam di jalur pengalihan di kota Cikampek. Lalu lintas padat merayap. Setelah lepas dari kemacetan pertama karena pengalihan jalur, selanjutnya lancar sampai di Cirebon arah Indramayu ada pengelupasan aspal macet lagi. Kemudian kami memilih jalur tol Palikanci dan tol Bakri yang jalannya mulus dan tanpa hambatan. Tol Palikanci Rp. 9000 dan tol Bakri Rp. 21.000, lumayan mahal tapi cukup menolong menghindar dari kemacetan di Cirebon kota.
Selanjutnya keluar di Brebes kami makan siang disebuah warung milik warga keturunan tianghoa dengan masakan rumahan yang bersih dan enak serta murah. Letaknya persis dipinggir jalan raya sebelum alun-alun Brebes. Kami membeli kue pia khas Tegal yang isinya buah campur, kacang ijo dan coklat. Enak, kurang lebih sama dengan bakpia pathok, tetapi karena bikinan rumahan tentu lebih renyah karena baru, fresh from the oven.
Perjalanan lanjut ke Tegal dan Pekalongan. Nah, setiap melewati Pasar Grosir Batik Setono, kami selalu mampir. Kali ini untuk makan siang menjelang sore, makan bakso di tenda depan parkiran. Rasanya kurang enak. Kami melanjutkan aktivitas dengan belanja batik.
Batik pengrajin di Pekalongan memiliki motif yang beragam. Bahannyapun beragam. Ada toko yang memiliki konveksi sendiri mulai dari menenun kain sendiri, mencap motif sampai menjahit sendiri. Di toko XOXA kami menemukan baju yang kami sukai dan membeli beberapa buah. Motifnya unik dan model bajunya juga bagus serta cocok dengan selera.
Selepas Pekalongan, kami nonstop sampai Semarang dengan melewati beberapa titik perbaikan jalan yang macetnya bisa bikin senewen. Bayangkan, bila truk dan kontainer berlomba saling mendahului diantara mereka dijalan yang hanya muat 2 kendaraan. Dengan muatan super berat dan kecepatan sekitar 20 km perjam, mereka menutup jalan karena berjalan berdampingan tanpa menyisakan sela untuk kendaraan lain mendahului. Penderitaan semakin bertambah bila jalan yang dilalui sementara ditutup satu jalur.
Tapi akhirnya tiba di Semarang dengan bahagia dan lega. Kotanya bersih dan modern. Kami langsung menuju ke Simpang Lima, tempat favorit untuk makan. Kami sering ke Semarang karena selain sebagai kota singgah bila ke Jawa Tengah, juga karena makanan dan oleh-oleh khasnya yang enak, Bandeng Presto.
Kami selalu menginap di Hotel Bali, karena selain budgetnya terjangkau juga karena hotelnya lumayan bersih dan selalu mendapat makan pagi ala prasmanan. Kalau tidak salah sudah 4 kali kami menginap disana. Kamar Standar seharga Rp. 180.000 permalam, tetapi selalu penuh karena cuma ada 8 kamar. Kamar Superior Rp. 200.000 dan tersedia banyak kamar. Kami memilih Superior.
Tidur cukup nyenyak malam itu dan terbangun sudah pukul 06.00. Kami langsung mandi dan bersiap sarapan. Begitu getapnya kami orang pertama yang tiba diruang makan dengan semua menu sarapan yang belum siap. Akhirnya kami minum teh manis dahulu sambil menunggu mereka menyiapkan. Setelah selesai sarapan kami langsung menuju front office untuk check-out.
Perjalanan dilanjutkan menuju Klaten via tol. Perjalanan sepenuhnya mulus tanpa macet. Kami sampai kurang lebih 4 jam kemudian. Karena baru pertama ke Klaten dan Bayat, kami bertanya pada orang-orang di sepanjang perjalanan agar tidak terlanjur tersasar. Ada kesan menakjubkan dari orang-orang tersebut yakni, mereka tidak sungkan-sungkan meninggalkan pekerjaannya dan menuju ke tepi jalan untuk menunjukkan arah dengan sedetil-detilnya. Mereka berkesan ramah dan senang menolong. Ada sekumpulan remaja di sebuah bengkel yang sedang duduk-duduk ketika kami bertanya arah menuju desa Bayat dari Klaten Tengah. Mereka sigap bertanya, mau ke makam keramat ya? Kami tidak tahu malah bila di Bayat ada makam keramat. Kami sampaikan bahwa kami hendak membeli pot keramik. Mereka memberi petunjuk sangat detil, sampai lampu merah ke berapa harus belok dan di tikungan mana ada kampus ini dan ada lanmark apa yang kami harus lewati. Betapa detil dan jelasnya. Setelah kami jalani rute yang mereka sebutkan dan tentu saja kami juga bertanya lagi pada yang lain sambil jalan menuju lokasi, ternyata tidak ada satupun yang memberi info keliru. Dan yang mengagumkan adalah info dari anak-anak remaja tersebut yang setelah kami tiba di lokasi kami baru tahu, bahwa jarak mereka dari Klaten Tengah ke Desa Bayat berjarak lumayan jauh dan ditempuh dalam hitungan jam. Betapa mereka mengenali detil-detil jalan di wilayah dan daerah mereka. Sungguh mengagumkan. Puji Tuhan!
Kami pertama-tama baru menyadari sudah sampai di tujuan ketika ada gapura dari besi yang membentang di atas kami bertuliskan Selamat Datang Di Desa Keramik Pagerjurang. Lalu sejurus kemudian dikanan dan kiri jalan terdapat kurang lebih 10 kios pedagang keramik Bayat. Kami melalui itu semua dengan maksud nanti berbalik arah untuk berbelanja di beberapa kios yang tampak lebih banyak pajangannya dari yang lain.
Kami makan siang di rumah makan gudeg dan soto tidak jauh dari makam. Disana gudegnya enak serta soto ayamnya juga murah. Satu porsi soto ayam kampung plus nasi hanya Rp. 3500. Bahkan disepanjang jalur Klaten- Bayat ada soto ayam kampung seharga Rp. 1000 seporsi.
Menjelang sore kami baru selesai berbelanja berbagai macam produk kerajinan keramik. Untuk variasi model, hanya ada satu toko saja yang paling beragam, yakni Toko Kembar. Pemiliknya seorang ibu setengah baya yang mengaku usahanya ditangani oleh 3 orang anaknya, tetapi hanya beliau dan seorang karyawan saja yang selalu berada ditempat. Bahkan pada saat kami berada disana, karyawan tersebut sedang cuti.
Keramik Bayat dinominasi warna hitam dan coklat. Yang membuatnya berbeda dari jenis kerajinan keramik daerah lainnya di Nusantara adalah proses pembuatannya yang menggunakan putaran miring. Sayang sekali pada kesempatan kali ini kami tidak sempat melihat langsung proses pembuatannya dikarenakan waktu yang sempit.
Satu lagi kelebihan keramik Bayat adalah kualitas bakarannya yang sangat prima. Hal ini bisa langsung teraba pada hasil kerajinan mereka yang halus dan detil pada pengerjaan awal maupun akhir. Sebagian besar adalah dalam bentuk piring, cangkir, gentong, wajan dan guci. Vas dan celengan serta pajangan juga ada. Menurut info sang ibu, produk mereka diminati oleh pelbagai kalangan terutama restoran dan rumah makan yang mengusung gaya etnik dan tradisional. Bahkan baru-baru ini ada pembeli dari Malaysia datang langsung ke lokasi dan berbelanja cukup banyak produk-produk Bayat untuk diboyong ke negeri jiran.
Tampaknya perdagangan keramik di desa ini cukup baik perkembangannya seraya kami memilih-milih barang, tampak pedagang partai sedang menaikkan keramik berbentuk teko untuk godogan jamu atau disebut oleh pengrajin disini dalam jumlah yang terbilang cukup banyak, yakni sekijang atau satu mobil bak terbuka. Menurut info akan dibawa keluar daerah di Jawa Tengah.
Sampai saat ini mereka hanya menunggu pembeli untuk datang dan tidak mengirim barang. Jadi barang siapa mau berbelanja harus datang sendiri kelokasi dan membawa langsung. Kegiatan ini sudah dilakukan turun temurun dan masih dilanjutkan sampai saat ini. Melihat kondisi jalan yang rusak dengan lubang disana sini, cukup memprihatinkan mengingat banyak pedagang dari luar daerah yang akan datang berbelanja di desa ini, Belum lagi mengingat tidak adanya plang petunjuk arah menuju desa ini bisa menyulitkan bagi yang baru pertama kali berkunjung. Ada baiknya sedari kota Klaten sudah dibuatkan plang petunjuk arah agar semakin banyak pengungjung yang mau datang.
Menjelang sore kami baru selesai mengepak barang belanjaan. Baru sekali ini kami harus mengepak dan mengikat barang kami sendiri selesai berbelanja karena ibu pemilik toko tampak tidak punya punya pengalaman mengepak barang dalam jumlah banyak dan dengan tujuan akan dibawa jauh. Kami terpaksa turun tangan dan bermandikan keringat ala kuli angkut. Untung saja beliau dengan ringan tangan menyediakan segala keperluan seperti kardus, tali, plakban dan gunting.
Setelah selesai kami langsung meninggalkan lokasi menuju Semarang untuk bermalam. Diperjalanan menuju Semarang kami berhenti karena tertarik dengan toko kerajinan dari bonggol akar bambu yang dijadikan berbagai macam kerajianan berupa kentungan,pajangan ukuran besar dan kecil yang kesemuanya berbentuk rupa bebek. Yang membuat kami tertarik membeli karena ada bebek pajangan yang bersepatu. Yang mencolok adalah warna tampilannya yang berani dengan warna-warna terang seperti merah, biru, kuning, hijau dan ungu. Juga ada warna natural bambu, yang hanya divernis saja. Sekilas tampak lucu dan menggemaskan. Ternyata produk-produk tersebut adalah hasil sampingan dari kerajinan membuat saung bambu. Jadi, daripada bonggol bambu terbuang percuma, maka dibuatlah macam-macam karya kreatif berupa barang-barang yang dapat juga dijadikan souvenir khas dari daerah ini.
Menurut info, bambu yang dapat diolah hanya dari jenis bambu tertentu seperti betung. Mungkin karena ukuran bonggolnya yang besar akan memudahkan bagi pengrajin untuk membentuk karya sesuai imajinasinya. Harga cukup baik dan bisa ditawar. Disepanjang jalan memang hanya ada satu toko saja yang memajang kerajinan ini dengan apik dan menarik. Yang lainnya hanya diemperan jalan dan terlihat tidak menarik.
Setelah selesai berbelanja, kami langsung meneruskan perjalanan ke arah kota Semarang. Tetapi ditengah perjalanan lagi-lagi ada pengalihan arah, tepatnya di Boyolali, ada pengalihan jalan karena ada pekerjaan pengaspalan. Hari sudah pukul 18.30 dan kemacetan yang terjadi luar biasa. Kami diarahkan untuk melewati jalur alternatif. Terbersit bayangan kami akan kelaparan disepanjang perjalanan karena jalur alternatif ini melewati hutan dan sawah tanpa penduduk sementara kami masih dalam keadaan perut kosong. Beruntung setelah kurang lebih 100 meter dari jalur utama memasuki jalur alternatif, ada sebuah rumah makan lokal yang lumayan baru bangunannya. Bersama dengan puluhan mobil pribadi lain, kami menepi untuk makan malam di restoran yang pemiliknya benar-benar super ramah, yang menyambut kami semua secara pribadi dan hangat.
Sang Bapak memberi kami kartu nama dan memperkenalkan diri. Menanyakan apa kekurangan dari masakan resto-nya dan bercerita panjang lebar tentang restonya yang baru buka dua bulan yang lalu. Setelah beramah tamah dan beliau menemani tamunya dari meja ke meja, kami pamit dengan hangat dan melanjutkan perjalanan.
Bila mampir di Boyolali kelak pasti kami mampir makan di resto tersebut, selain karena menunya beragam dan tempatnya lumayan, juga karena harga makanannya super murah. Aku makan pecel spesial seharga Rp. 5000 dengan isi nasi, pecel, sepotong bandeng dan rempeyek. Pasanganku makan dengan nasi dan semangkok rawon dan sepotong kerupuk seharga Rp. 10.000. Luar biasa murahnya. Minuman berupa teh manis seharga Rp. 1500. Kenyanglah sudah.
Kembali ke Semarang kami bermalam di hotel yang sama, Hotel Bali. Kali ini kamarnya berbeda dan AC-nya kurang nyaman karena berisik. Tetapi karena kelelahan kami tertidur pulas.
Keesokkan paginya kami bersiap untuk perjalanan pulang. Sebelum itu kami mampir ke pusat oleh-oleh di sekitar Simpang Lima dan menjelajahi pasar tradisional untuk membeli oleh-oleh bandeng presto yang kesohor itu dan tentu saja, wingko babat pesanan putriku serta brem pesanan putraku.
Perjalanan pulang diwarnai kemacetan seperti biasa dan penyempitan jalur karena pekerjaan pengaspalan. Kami mampir makan siang di sebuah POM di Pekalongan, ada sebuah restoran sajian nusantara disana. Masakannya siap saji dan prasmanan.
Baru setelah pukul 19.00 kami bisa keluar dari kemacetan mulai dari Pamanukan ke Cikampek. Akhirnya sebelum masuk ke tol Cikampek, kami makan malam terlebih dahulu di rumah makan Mbok Berek. Karena Cikampek daerah transit bagi bus dan truk antar daerah memasuki Jakarta, tentu saja banyak supir-supir dan penumpangnya yang makan di restoran disepanjang jalur ini. Tidak mengherankan bila asap rokok menebar dimana-mana bersama wewangian lain yang tidak bisa disensor lagi oleh hidung.
Setelah itu, kami langsung tancap gas menuju tol untuk segera pulang. Tiba di Cibinong dengan selamat sentosa pukul 22.30. Puji Tuhan. Hati bahagia dan penuh pengalaman dan kenangan mengalahkan capeknya badan dan penatnya mata. Semoga satu hari nanti, kami bisa kembali kesana lagi.
Warna ciri khas keramik desa Bayat, Klaten. |