Kami tinggal didaerah pemukiman baru diperbatasan kota Cibinong dan Bojonggede sejak media 2008. Semenjak 3 tahun pertama kami tinggal disini dan jalan-jalan yang baru dibuka sudah mulai ramai, baik untuk rumah tempat tinggal maupun toko-toko, tetapi sampai saat itu sebagian dari daerah ini belum ada instansi atau dinas kebersihan yang menangani sampah ditempat kami berada.
Keadaan ini menyebabkan sampah rumah tangga "dikelola" masing-masing.
Bentuk pengelolaan ada bermacam-macam. Ada yang mengubur sampahnya di belakang rumah, ada yang mengumpulkannya di lahan kosong yang tak dikenal tuannya, ada yang membawa sampahnya setiap pagi atau sore ke tempat pembuangan sampah di lokasi lain, atau yang paling mudah dengan melemparkannya ke kali atau sungai didekat tempat tinggal kami.
Untuk melihat ritual melempar sampah ke kali ini bisa dilihat menjelang gelap atau menjelang terang. Jadi sekitar pk. 05.00 atau pk. 18.00.
Tetapi ada juga yang begitu terang-terangan. Beberapa pengendara motor yang sembari pergi bekerja membawa tentengan sampahnya. Ketika melintas dijembatan atau dekat kali, mereka sambil lalu melempar sampahnya tanpa perlu menghentikan kendaraan.
Ada juga yang serta merta membuang sampah langsung ke kali seperti beberapa rumah potong ayam yang lokasinya didirikan tepat di pinggir kali. Mereka tanpa keraguan apapun membuang seluruh sampah usahanya ke kali. Bisa dibayangkan ada bulu ayam, kotoran, dan segala sisa pemotongan.
Ada juga yang serta merta membuang sampah langsung ke kali seperti beberapa rumah potong ayam yang lokasinya didirikan tepat di pinggir kali. Mereka tanpa keraguan apapun membuang seluruh sampah usahanya ke kali. Bisa dibayangkan ada bulu ayam, kotoran, dan segala sisa pemotongan.
Pemandangan air yang mengalir di kali juga bisa dipastikan "penuh warna". Kalau hujan, kali penuh dengan air kadang sampai meluap. Bila tidak hujan, maka pada permukaan kali tampak pulau-pulau, yang terbentuk dari tumpukan sampah dan ditumbuhi rumput.
Keluarga kami memanfaatkan sampah rumah tangga untuk kompos, karena kebetulan kami memiliki halaman yang cukup luas sehingga ada area seluas 1,5 m x 3 m yang senantiasa dijadikan kuburan sampah.
Sampah rumah tangga kami selalu disortir. Yang ditanam adalah sampah sayuran segar sisa penyiangan. Sedangkan sisa-sisa tulang dan lauk sayur diberikan kepada peliharaan kami, seekor anjing kampung. Sisa sampah yang lain adalah sampah plastik dan kertas yang akan disortir lagi menjadi plastik dan kertas yang bisa dijual ke pemulung dan hancuran yang terpaksa dibakar. Sampah yang bisa "dijual" tersebut biasanya adalah kardus, kertas dan koran, gelas dan botol plastik juga botol beling. Lumayan juga bila terkumpul banyak bisa dijual ke pemulung bersepeda yang rutin berkeliling dengan harga Rp. 2.500 perkilo (th. 2008-2010). Tahun 2013 harganya Rp. 3.500. Dalam 1-2 bulan selalu ada kurang lebih 10 kg sampah model begini dirumah kami. Nah, sisanya yang dibakar bisa menimbulkan masalah baru. Pembakaran menyebabkan polusi asap, tetapi karena sudah disortir sedemikian rupa, itulah hasil yang sudah tidak bisa dimanfatkan lagi. Dan karena tidak ada tempat untuk membuangnya, terpaksalah dibakar. Pembakaran dilakukan dua hari sekali.
Baru pada akhir tahun 2012 ada pelayanan pembuangan sampah dari dinas kebersihan. Kami dikenai retribusi Rp. 20.000 per-bulan. Tetapi petugas tidak datang setiap hari dan juga tidak datang pada jam-jam yang sama.
Baru pada akhir tahun 2012 ada pelayanan pembuangan sampah dari dinas kebersihan. Kami dikenai retribusi Rp. 20.000 per-bulan. Tetapi petugas tidak datang setiap hari dan juga tidak datang pada jam-jam yang sama.
Belum lama berselang, ketika kami kebetulan jalan-jalan ke kota tetangga kami, Depok, kami pernah melihat ada orang membuang sampah rumah tangganya berupa sebuah sofa rongsok ke selokan. Ukuran sofa itu sama lebarnya dengan selokan sehingga menutup jalan air. Tak bisa kami bayangkan bagaimana bila hujan turun deras, pasti meluaplah air selokan itu.
Sangat memprihatinkan.
Keadaan sangat berbeda dengan lingkungan perumahan disebelah kami yang sudah ditangani sampahnya secara swadaya oleh sebagian penghuninya.Tepatnya 3 tahun yang lalu, kami mengunjungi lokasi mereka yang terletak dipinggir sungai Ciliwung yang memang kebetulan melintas di ujung lokasi perumahan tersebut. Pihak pengembang perumahan menyediakan fasilitas pembuatan kompos, mendidik kader untuk menangani pembuatan, pemanfaatan dan belakangan bahkan penjualan. Sampah basah sebagai bahan baku kompos dikumpulkan oleh beberapa orang petugas kebersihan komplek dan di koordinir oleh beberapa warga yang tergabung dalam proyek tersebut dan memantau segala pelaksanaannya. Usaha tersebut sempat berkembang bagus dengan produk unggulannya kompos padat dan cair. Pada awalnya pemasaran cukup bagus karena waktu itu sekitar tahun 2005 sedang 'booming' tanaman hias. Kebetulan kami memiliki toko tamanam hias yang sekaligus juga termasuk salah satu agen yang mempromosikan kompos tersebut kepada orang-orang yang kebetulan datang ke tempat kami.
Belakangan, seiring dengan merosotnya minat orang kepada tanaman hias, berkurang juga pembelinya. Seperti sebagian dari kita tahu bahwa sekitar awal tahun 2005 sampai akhir 2007 terjadi "booming" tanaman hias terutama jenis anthurium dan aglaonema. Kini "demam" sudah mereda dan orang-orang juga sudah kembali pada hobbynya masing-masing, yang sebelumnya semua beralih ke hobby bertanam tanaman hias. Maka ketika kami meninjau kembali lokasi itu beberapa saat yang lalu, usaha mereka tidak berjalan optimal lagi karena beberapa kader setelah mendapat penghargaan dari instansi setempat tidak mendapat dukungan dana dan fasilitas tambahan seperti yang mereka harapkan dan ajukan, akhirnya meninggalkan proyek tersebut. Sampai kini saya masih menyimpan beberapa botol kompos cair mereka yang dititipkan ditempat saya untuk dijualkan, tetapi tampaknya sudah kadaluarsa karena sudah berselang 3 tahun dari pembuatannya.
Dari banyak kader penyuluh tersebut yang masih aktif sampai saat iniadalah Ibu Endang Suprihatini atau lebih dikenal sebagai Bu Effendi. Beliau adalah pendiri KOMBES ( Komunitas Bude Endang Suprihatini) yang bergerak dalam pembuatan kompos dan pemanfaatan limbah plastik untuk didaur ulang menjadi berbagai macam barang seperti tas dan keranjang. Usaha ini masih berjalan sampai saat ini.
Dari banyak kader penyuluh tersebut yang masih aktif sampai saat iniadalah Ibu Endang Suprihatini atau lebih dikenal sebagai Bu Effendi. Beliau adalah pendiri KOMBES ( Komunitas Bude Endang Suprihatini) yang bergerak dalam pembuatan kompos dan pemanfaatan limbah plastik untuk didaur ulang menjadi berbagai macam barang seperti tas dan keranjang. Usaha ini masih berjalan sampai saat ini.
Kadang-kadang kami bertukar pikiran, alangkah baiknya ada niat dari pihak pemda atau instansi terkait untuk menyediakan tempat pengelolaan yang bisa dijalankan oleh pihak ketiga. Mungkin awalnya memberi izin mendirikan tempat pengelolaan sampah terpadu. Dimana nanti investor ataupun masyarakat diajak serta memanfaatkan sampahnya. Mungkin awalnya perlu dana bagi pekerja pengumpul sampah yang bisa didapat dari iuran kebersihan. Tetapi apabila proyek sudah berjalan, hasil dari olahan tentu bisa dimanfaatkan untuk membiayai proyek itu sendiri. Mungkin kelak bisa menyumbang perbaikan sarana di tempat tinggal kami.
Tetapi tentu saja agak sulit mengharapkan adanya izin tersebut melihat masyarakat yang tinggal disekitar sini masih alergi dan lebih tepatnya belum bisa menerima apalagi berwacana tentang Tempat Pengolahan Sampah. Bahkan Bu Effendi pada suatu kesempatan pernah berkata bahwa tetangganya yang tinggal diperumahan yang sama dengannya masih ada yang sinis terhadap usaha yang dilakukannya. Ada yang memandang rendah karena beliau bergaul dengan sampah dan masih banyak yang 'jaim' dan belum mau memanfaatkan atau berkontribusi dengan membeli hasil kerajinan tangan kelompok usaha beliau. Malahan permintaan tas dan keranjang datang dari tempat yang jauh-jauh seperti diluar P. Jawa. Ironis juga ya. Mengapa beliau bisa memperoleh banyak pesanan dari luar daerah? Hal itu karena Bu Effendi adalah kader pemerintah daerah yang sudah dikenal luas oleh masyarakat dan sudah memberikan banyak seminar, ceramah, pendidikan dan latihan kehampir seluruh pelosok tanah air. Makanya beliau selalu mempromosikan hasil usahanya ke daerah-daerah yang dikunjunginya.
Masyarakat ditempat kami mayoritas masih enggan berhubungan dengan pengolahan sampah. Selalu saja bila ada wacana pengolahan sampah,
Masyarakat ditempat kami mayoritas masih enggan berhubungan dengan pengolahan sampah. Selalu saja bila ada wacana pengolahan sampah,
yang terbersit adalah gunung sampah, bau menyengat dan lalat. Tetapi sebenarnya yang nyata sudah terlihat adalah gundukan sampah tak bertuan di tanah kosong, tumpukan sampah di pinggir kali, dan bila hujan, ada arus sampah lalu lalang di jalan aspal. Kami tidak dapat berbuat banyak menyangkut izin dan birokrasi karena kami sangat awam dalam hal ini. Yang terus bisa diusahakan adalah memulainya dari dalam diri sendiri yakni jangan membiasakan diri membuang sampah disembarang tempat atau tepatnya meletakkan sampah haruslah pada tempatnya. Kalau dimulai dari diri sendiri, lalu ditularkan ke keluarga dan tetangga, niscaya kelak bisa membuat banyak orang sadar akan kebersihan lingkungan. Mudah-mudahan mimpi ini kelak terwujud.