Liburan Hari Kenaikan Yesus Kristus 2012 yang lalu, aku dan pasangan pergi ke Klaten, tepatnya ke desa Melikan, Bayat. Liburan kali ini kami menyempatkan diri untuk ziarah ke Goa Maria Marganingsih di desa Paseban, Bayat, Klaten, Jawa Tengah.
Ternyata tidak jauh dari Gapura Desa Melikan, Paseban, yakni sentra keramik Bayat, aku membaca plang nama GOA MARIA MARGANINGSIH. Kami memarkir kendaraan dan langsung menuju ke pintu masuk. Pantas saja sepanjang perjalanan kami berpapasan dengan bus-bus wisata. Rupanya di desa ini terdapat 3 tempat ziarah. Yakni Goa Maria Marganingsih, Makam Keramat Ki Pandanaran, Makam Ki Ronggowarsito. Pada kesempatan itu kami hanya singgah di Goa Maria Marganingsih dan hanya melewati Makam Ki Pandanaran.
Goa terletak di sebuah lahan yang luasnya kurang lebih 500 meter persegi. Dibagian depan adalah pagar tembok dengan tulisan besar GOA MARIA MARGANINGSIH. Goa ataupun bangunan didalamnya tidak tampak dari luar. Sesampai di dalam ada bangunan gereja ditengah-tengah dengan luas bangunan sekitar 40 meter persegi. Kecil untuk ukuran sebuah gereja. Bangunan tidak terlalu tinggi dan dikerjakan dengan sederhana. Terasnya ada di belakang gereja langsung menghadap goa yang dibangun menempel di tebing dengan lebar keseluruhan berikut altar terbuka dan tempat salib besar Yesus sekitar 15 meter. Sementara di kiri pintu masuk terdapat 2 buah toilet yang kurang terawat.
Ritual jalan salib dimulai tepat di samping toilet sebagai perhentian pertama. Selanjutnya perhentian yang lain dibangun disepanjang tebing yang mengelilingi goa dengan tangga- tangga batu dan terus memutar area lahan dan selanjutnya perhentian terakhir ada di sebelah kanan goa dan menuruni tangga batu.
Tidak ada toko souvenir rohani disini. Juga tidak ada sendang atau mata air seperti kebanyakan goa yang lain.Kami melihat beberapa peziarah dengan kebutuhan khusus membawa air dalam botol kemasan dan meletakkannya di mulut goa dan mereka berdoa sangat khusuk. Beberapa keluarga juga melakukan ibadat jalan salib mereka masing-masing. Karena jalan cukup menanjak, keringat bercucuran ketika selesai kami melintasi semua perhentian tetapi kami tidak melakukan ibadat. Gambar diorama pada setiap perhentian adalah lukisan timbul pada tugu yang terbuat dari semen yang dibuat dengan sistim cetakan, kurang lebih sama seperti yang ada di Sendangsono.
Ada kesan yang tertinggal ketika kami meninggalkan tempat ini yaitu, kurang terawat. Dan yang terbersit saat itu juga adalah, ada apa sesungguhnya di Paroki Wedi ini sehingga ada kabar gereja di tempat ini mau diserbu oleh oknum tertentu yang tidak menghendaki adanya tempat umat Tuhan beribadat. Karena kesan kami sangat bertolak belakang dengan isu yang berkembang, yakni ternyata suasana disana benar-benar adem tenterem dan hening menyelimuti.
Belakangan kami merasa kemungkinan besar adalah karena tempat ini disinyalir belum memiliki ijin mendirikan bangunan dan juga ijin peruntukkan ibadah serta sebagai tempat ziarah. Mungkin juga hal ini yang menyebabkan kondisi Goa Maria Marganingsih kurang terawat, mengingat letaknya yang sangat dekat dengan Makam Keramat Ki Pandanaran yang di pelihara lebih baik, karena dari kejauhan kami melihat ada bangunan mirip rumah panggung besar dan jalan masuknya yang dijaga ketat dan terlihat lebih megah daripada Goa Maria Marganingsih.
Di parkiran yang terletak di pinggir jalan sepanjang pagar tembok, kami berbincang dengan tukang parkir yang senyum-senyum ketika melihat plat nomor mobil kami dari Jakarta. Pertanyaannya sangat sederhana, rumahnya dimana? Rupanya dia sangat bangga sebab adik kandungnya berada di Bekasi dan dengan lugunya dia menitip salam dan berkata, siapa tahu kelak kami ketemu adiknya yang asli Bayat, di Bekasi...