Selamat Datang

Selamat membaca. Semoga bermanfaat !

Rabu, 06 Juni 2012

BUDGET TRAVELLING SINGAPURA 2012

   
       Awal tahun 2012 yang lalu, tepatnya Februari, aku berdua pasangan memberanikan diri "keluar negeri". Mungkin buat sebagian orang "cuma" ke Singapore itu hal biasa dan tidak bikin heboh. Tetapi karena ini adalah pengalaman pertama buat kami, tentu saja berpotensi membuat  kami  heboh. Heboh pertama karena kami pergi hanya berdua, tanpa  rencana sebelumnya. Dan sudah jelas ini perjalanan dengan dana terbatas alias budget travel. Artinya, kami tidak memakai jasa agen perjalanan atau tour. 
       Kebetulan kami punya teman  yang bekerja di bagian ticketing disebuah perusahaan di Jakarta, jadi kami tidak pikir-pikir lagi waktu itu dan  meminta dicarikan tiket murah. Alhasil dihari yang sama dia mengabari bahwa tiket murah ada alias tersedia.
       Sebagai saran, sebaiknya cari jadwal terbang dari Jakarta yang terbangnya pagi menjelang siang. Memang harganya mahal sedikit, tetapi sangat berarti dalam pengaturan waktu untuk jalan-jalan. Waktu itu kami cuma cari murah saja, lupa tentang pengaturan waktu.
       Akhirnya ketika waktu tinggal sebulan, aku mencoba browsing di internet untuk mencari tahu tempat-tempat apa saja yang menarik untuk dikunjungi di Singapura. Ada satu situs yang sangat membantu yakni milik  Budi Sulis yang dengan gamblang dan jelas menggambarkan situasi apa saja yang akan dihadapi disana, mulai dari bandara, imigrasi, stasiun kereta api, terminal bus dan tidak lupa tentu saja rekomendasi hotel dan tempat makan. Aku sendiri tak kalah sibuk mencari penginapan murah yang budgetnya sekitar S$25 permalam perorang atau maksimal S$ 80 permalam. Nilai tukar saat itu adalah Rp. 7.200 untuk 1S$.
       Kebetulan kami berdua termasuk tipe orang simpel, jadi kami hanya membawa masing-masing 3 stel kaos oblong dan dalaman. Celana jeans cuma semata wayang saja, selain menghemat tenaga dan ruang juga karena pertimbangan Singapura negara yang bersih. Ada kerabat kami yang pernah bercerita, ketika ia berada di Orchard, saat deras-derasnya hujan ia menyeberangi jalan. Saat yang sama melintas mobil di genangan air dan menyiprat bagian bawah celana panjangnya. Tentu saja ia menjadi jengkel karena air comberan akan mengotori celana. Alangkah kagetnya dia karena sesampai di seberang, tidak ada noda kotoran di celananya, hanya basah saja. Berarti bersih kan?
       Akhirnya, sehari sebelum keberangkatan, aku browsing lagi dan mendapatkan nomor telepon  pengelola apartemen yang beralamat di Orchard Road, yakni Lucky Plaza. Contact kami ketika itu adalah Ibu Emilia yang berdomisili di Jakarta dan Mbak Anis yang menunggui apartemen di Singapura. Ketika hendak menyetujui untuk bermalam di Lucky Plaza sebenarnya kami agak berat karena tarifnya permalam adalah S$120 atau Rp. 870.000 waktu itu. Apa boleh buat, karena menurutku, mencari Lucky Plaza di Orchard Road pasti lebih mudah ketimbang lokasi lain apalagi pada malam hari.
       Waktu aku menanyakan lokasi apartemen, tarif inap dan cara pembayaran, Ibu Emilia mengatakan bahwa pembayaran dilakukan dimuka dengan cara transfer. Aku berdiskusi dengan suami, yang ketika itu memberi masukan bahwa banyak penipuan terjadi pada transaksi lewat internet. Tapi karena setengah yakin, seperempat bingung dan sisanya pasrah, kami bertekad membayar penginapan satu malam saja dulu. Kalau seandainya itu tipuan, ruginya "hanya" semalam.
      Pasanganku juga mengontak Mbak Anis di Singapura yang ternyata adalah PRT- nya Bu Emilia, yang memastikan ada kamar untuk kami. Legalah hatiku, plong dan damai.
      Keesokan hari, sedari pagi aku merapikan kembali bawaan kami. Yang tidak boleh ketinggalan selain baju ganti adalah obat darah tinggi pasanganku, sunscreen, pelembab, payung, charger HP, topi, supplemen stamina, botol air minum, dan tentu saja dollarsing, begitu ternyata orang sana menyebut S$. Kami membawa dalam pecahan terbesar S$50, 20, 10,5 dan logam S$ 1, Sedangkan pecahan dalam cent adalah 50, 20, dan 10. Namanya juga perjalanan budget, tentu saja tidak membawa banyak "amunisi". Kami  menukarkan Rupiah dengan Dollarsing di suatu money changer di Jakarta senilai S$ 550 .Buat cadangan kami tetap membawa Rupiah karena bisa ditukar disana.
       Tiba pk. 14.00 lewat sedikit karena antrian di tempat parkir bandara. Kami langsung ke terminal 2F.    Sesaat kemudian terdengar panggilan untuk memasuki ruang check-in. Kami bergegas karena menurut info teman dan kerabat, jangan menunda-nunda proses check-in dan imigrasi, karena penerbangan ke Singapura adalah yang termasuk padat. Maka kami cepat-cepat mengikuti barisan untuk mendapatkan boarding pass dari counter Lion Air. Prosesnya mudah saja. Serahkan bagasi, timbang, lalu tanda terima bagasi ditempelkan di belakang paspor. Kami membayar masing-masing Rp. 150.000 untuk airport tax, lalu kami mendapat boarding pass dan langsung menuju antrian pemeriksaan imigrasi. Hanya sekitar 15 menit kemudian kami sudah di dalam ruang tunggu keberangkatan.
       Saat itu pk. 16.00. Bandara lumayan ramai. Sebentar-sebentar terdengar panggilan untuk seseorang yang belum check-in sementara pesawat sudah hampir terbang. Ternyata kebiasaan ngaret sudah menjadi budaya di seluruh lini kehidupan di negeri kita. Bukan cuma telat masuk kerja, telat datang rapat bahkan telat waktu ibadat bersama. Kalau tidak telat tidak ngetren. Pukul 16.30 tepat, kami memasuki pesawat dengan nomor penerbangan JT165. Penerbangan berlangsung aman dan terkendali.
       Sesaat sebelum mendarat, tampak daratan Singapura yang benar-benar megah dengan hutan bangunan pencakar langitnya.  Cuaca sangat cerah dan masih terang, walau sudah pk. 18.30. Kami turun dari pesawat  dengan khidmat dan dengan senyum dikulum. Dalam hati bersyukur akhirnya tiba juga dan bercampur baur dengan rasa takut, was-was, dan nah loh...mau kemana nih?
      Waktu didalam pesawat, pasanganku berkenalan dengan orang yang duduk disebelahnya. Karena susunan bangku pesawat adalah 3-3 yang dibagi dalam 2 barisan, maka orang yang disebelah pasanganku tidak memiliki teman ngobrol. Ternyata setelah basa basi, kami berkenalan. Ternyata dia adalah seorang pengusaha yang doyan judi. Dia bercerita tentang tempat-tempat yang telah dikunjunginya sambil memperlihatkan cap di passportnya yang kata pasanganku, sudah tidak ada tempat kosong lagi.
       Dari dia juga kami mendapat informasi bahwa tempat kami menginap nanti di Lucky Plaza Apartment adalah kebanyakan pasien RS. Mount Elizabeth yang berobat jalan. Dia bilang harusnya kami menginap di People's Park yang hanya bertarif S$80 permalam. Apa boleh buat, kami kan belum tahu dimana tuh tempatnya. Tetapi ketika dia bertanya berapa harga tiket pesawat yang kami dapat, dia terlihat kecewa karena dia membayar Rp. 1.200.000 untuk penerbangan yang sama dengan kami. Impas deh...
       Kami akhirnya menginjakkan kaki di aspal Bandara Internasional Changi yang terkenal itu. Memang benar sangat luas dan megah, sekaligus menakutkan bagi kami. Tempatnya sangat sangat bersih dan teratur. Untung saja, sesuai gambaran yang telah kupelajari beberapa minggu yang lalu, membuat kami mulus-mulus saja lolos dari pos-pos yang harus dilalui untuk keluar dari bandara.
       Setelah melewati koridor panjang yang ramai menuju pintu pemeriksaan imigrasi, yang mana dikanan kirinya banyak cafe dan resto juga gerai pariwisata, kami mampir ke toilet.
       Pertama kali minum dengan  gaya manusia modern( atau kuno ?) ada sensasinya juga. Minum langsung dari kran tekan ditempat umum. Rasanya canggung karena banyak yang melihat cara kita minum. Tetapi ternyata, tidak ada yang memperhatikan kita dengan sungguh-sungguh. Ternyata mereka cuek bebek semua. Masing-masing punya urusan sendiri, tidak ada yang memperhatikan kita. Tidak seperti di Indonesia, bila kita bepergian senantiasa ada yang memperhatikan kita, entah bermaksud baik hendak menolong ataupun sebaliknya penjahat yang sedang mengincar kelengahan kita. Disana tidak ada yang peduli apa yang akan kita lakukan selama itu tidak mengganggu ketertiban umum.
       Karena keasyikan minum dan memandangi sekitar, kami tertinggal dari sebagian rombongan penerbangan yang sudah mengantri di pemeriksaan imigrasi. Akhirnya kami benar-benar mengalami antrian panjang.
       Jarak antara garis batas antrian dengan mereka yang sedang diperiksa oleh imigrasi sekitar 3 meter. Jadi ada ruang cukup jauh diantara kami. Dan petugas disana memeriksa sangat teliti. Memandangi wajah kita sambil mencocokkan dengan foto dalam passport, tanpa senyum, tanpa suara dan tanpa ekspresi. Dingin man..!
       Akhirnya lolos dari imigrasi kami harus mengambil bagasi.  Di sepanjang ban jalan yang berputar-putar, kami berusaha mencari bagasi kami. Nomor penerbangan akan muncul pada layar di atas tiang beton yang merupakan putaran bagi ban jalan yang beisi bagasi dari pesawat yang sama. Kami tidak menemukan sampai dengan koper terakhir yang keluar dari pesawat kami. Ada layar di tiang putaran yang menginformasikan berapa koper lagi yang tersisa. Ketika sudah tidak ada lagi koper yang berputar-putar dan pada layar tertera bagasi telah keluar semua, aku mulai berprasangka bagasi kami lenyap.
      Syukurlah, ternyata bukan hilang. Maklum tadi kelamaan di toilet dan di imigrasi. Menurut informasi, di tempat-tempat umum disana kita tidak akan kehilangan tas atau bawaan kita bila tidak dijaga sekalipun. Masalahnya, petugas keamanan disana akan segera mengamankan dan bahkan mencurigai barang-barang bawaan yang tidak dijaga atau ditinggal pemiliknya sebagai barang berbahaya.
       Kini kami berjalan mengikuti plang petunjuk menuju SKY TRAIN untuk menuju ke stasiun kereta bawah tanah atau MRT (MassRapidTransportation). Jalannya cukup jauh berhubung karena pemandangan sepanjang gedung yang memukau membuat perjalanan itu terasa sangat menyenangkan. Sky train hanya terdiri dari 2 gerbong yang dapat memuat sekitar 50 sampai 60 orang.
       Hanya sekitar 3 menit Sky Train sudah tiba di Changi MRT station dengan kereta cepat yang memiliki tempat duduk berhadap-hadapan di kedua sisi badan kereta. Kereta ini memang dikhususkan bagi penumpang pesawat yang akan meneruskan perjalanannya menggunakan kereta api bawah tanah atau MRT. Tidak dipungut biaya apapun untuk fasilitas ini.
       Bersih dan teratur, itulah kesan pertama. Kesan kedua, orangnya cuek-cuek. Pintunya double dan otomatis. Yang satu adalah pintu pembatas dan satu lagi pintu kereta itu sendiri, terbuat dari kaca tebal sehingga tembus pandang. Tidak ada desak-desakan. Selalu mendahulukan yang keluar baru kemudian yang akan naik ke kereta kemudian. Sesampai didalam keretapun selalu ada prioritas tempat duduk. Dua tempat duduk dekat pintu diperuntukkan bagi manula, penyandang cacat dan ibu hamil / menyusui. Yang sangat membantu adalah di setiap atas pintu kereta ada petunjuk kereta yang kita naiki sudah sampai di stasiun apa, yang ditandai dengan lampu yang menyala pada peta stasiun yang dilewati. Belum lagi di antar gerbong selalu ada papan elektronik yang memberitahu stasiun berikut yang dituju dengan disertai pengumuman seperti di bioskop 21. Tingtong....next station...Tanah Merah. Kami menaiki MRT dengan khidmat karena memang tidak ada yang bersuara.
       Sebelum tadi naik kereta dari Changi, kami membeli tiket terlebih dahulu. Pengalaman menarik sebab kita berhadapan langsung dengan mesin penjual tiket. Untung saja aku sudah melihat rupa gambarnya di internet, jadi tinggal keberaniannya saja untuk praktek. Pertama-tama tekan stasiun  tujuan kita dilayar sentuh, lalu akan keluar tulisan ongkosnya. Waktu itu aku harus ke Orchard, hotelku di daerah itu. Ongkosnya S$2,5.Uniknya, ongkos tersebut sudah termasuk deposit sebesar S$1 yang dapat kita ambil kembali sesampai di stasiun tujuan kita dengan cara memulangkan kartu pass itu. Jarak kedatangan antar kereta rata-rata 5 menit sampai 10 menit.
       Untuk menuju tempat naik kereta, kita melewati gerbang otomatis yang harus di"tap" atau ditempel dengan kartu pintar tadi sehingga palangnya terbuka otomatis. Kita tempelkan saja kartu itu diatas alat pembaca elektronik. Orang Singapura bahkan menyimpan kartu mereka didompet, sehingga mereka langsung menempelkan dompetnya tanpa perlu mengeluarkan kartunya. Kartu pintar seperti itu disebut EZ Link Card dan berbeda dengan tiket pass kami. Tetapi memiliki multifungsi karena bisa untuk membeli minuman pada mesin otomatis di 7-11. Demikian pula bila nanti akan meninggalkan stasiun, tinggal di tempelkan lagi di pintu keluar. Untuk mengambil deposit, kami mencari mesin tiket, memasukkan kartu pass dan kartu langsung terhisap kedalam mesin. Sementara itu logaman S$1 keluar. Beres sudah.
       Kami turun di stasiun Dhobi Gaut intersection alias stasiun persimpangan untuk pindah jalur ke menuju Orchard. Tidak perlu membeli tiket lagi, kami tinggal men"tap" kartu untuk keluar dan masuk stasiun sampai akhirnya terakhir turun di Orchard. Jangan dikira naik turun kereta hanya sekedar pindah kereta, tetapi pindah jalur kereta itu bisa berarti kita harus berjalan kaki  sampai 500 m jauhnya, naik turun eskalator dan belok sana belok sini. Tetapi semuanya ada dalam satu kesatuan gedung dibawah tanah. Dibeberapa stasiun utama bahkan menyatu dengan mall besar.
       Seperti di Orchard misalnya, setelah keluar dari gerbang otomatis dan mengambil deposit kami, kami langsung dihadapkan pada pilihan arah Tang's Plaza, ION Orchard dan Wheelock Place. Karena kami cuma mau tidur saat ini, karena waktu tiba di sana sudah pukul 21.30,  aku langsung  mencari arah keluar ke Orchard Road. Ketika melewati gerai bakery, kami tidak sanggup menahan rasa lapar sehingga kami membeli beberapa potong roti di foodcourt Tang's. Pilihannya cukup banyak dan bervariasi. Harganya berkisar S$ 0,5 sampai S$ 1,5 . Karena waktu sudah pukul 21.30, ada beberapa macam roti yang didiskon sampai 50%. Lumayan juga. Plaza disana tutup jam 22.00.
       Kami harus keluar dari bawah tanah dengan menaiki eskalator yang sangat panjang dan menjulang tinggi. Eskalator di stasiun-stasiun disetel dengan kecepatan lebih cepat dibanding dengan di mall dan tempat umum lainnya. Mungkin agar efisien dan mengikuti kebutuhan orang-orang disana yang mau selalu cepat.
       Sebagai tips, bila kita tidak terburu-buru, baiknya bila menaiki eskalator beradalah di sebelah kiri. Jalur kanan benar-benar untuk mendahului. Bila tidak percaya berdirilah dikanan. Beruntung bila orang yang hendak mendahului anda itu sopan, dia akan berteriak, excuse me!! atau bila anda tertabrak dia akan berkata,sorry!! tanpa melihat kearah anda. Atau anda sudah ditabrak dan tidak mendapat tanggapan apapun. Gile bener.
       Tapi ada baiknya juga. Saat ramai distasiun, pasanganku menjatuhkan topinya tanpa sadar. Ada seorang ibu yang berjalan di belakangnya memungut topinya dan berkata, hey..!! You drop your cap! Hey!!
Saat kita mengucapkan terima kasih padanya, thank you... dia bahkan tidak memandang kita dengan ramah, tapi berkesan seperti, ...anak ceroboh, membuang topi kok dijalan bukan di tempat sampah...Mimiknya itu loh!? Alangkah lainnya dengan bangsa kita yang ramah dan masih sangat sopan sebagai bangsa dari timur.
       Akhirnya ketika melihat dunia atas tanah setelah keluar dari stasiun, kami menghirup udara sejuk. Ternyata apartemen kami cuma sekitar 100 m saja dari eskalator stasiun. Karena sudah malam, hanya tinggal beberapa toko saja yang buka. Apartemen Lucky Plaza diperuntukkan juga untuk pusat perbelanjaan dari lantai 1 sampai 3. Lantai 4 sampai 20 untuk apartemen. Kami menginap di Lt 16.
       Ternyata Mbak Anis sudah menunggu kami didepan pintu apartemennya yang diteralis. Walah.. kami sempat mendengar dari apartemen disebelahnya, mbak-mbak berbahasa Jawa dengan dialek Tegal asli  Indonesia sedang ngobrol. Menurut info,apartemen disana banyak dimiliki oleh orang-orang Indonesia yang berstatus orang kaya dan berpengaruh. Sedangkan apartemen disana tidak ditempati, hanya dijaga oleh PRT asli Indonesia. Mereka menyewakan kamar-kamar dengan tarif permalam mulai dari S$ 100 sampai S$ 150. Lumayan juga bila musim liburan karena orang Indonesia yang bertandang ke Singapura banyak sekali. Oh ya, gaji PRT disana lima juta rupiah perbulan. Kalau dihitung-hitung, majikan tidak ada ruginya. Dengan kamar sebanyak 4 buah bila hanya ditempati maksimal 2 hari dalam seminggu saja, incomenya sekitar S$ 3.840 atau Rp 27 jutaan lebih.
       Kami mendapat kamar yang  menghadap Ngee Ann City. Pemandangannya sangat menakjubkan dimalam hari. Lampu-lampu gedung gemerlap di seantero kota. Kami ada di lantai 16, jadi bisa memandang sampai nun jauh. Akhirnya kami tertidur kecapean.
       Pagi hari kami terbangun pukul 06.00 waktu setempat. Sejenak aku terkejut karena aku biasanya selalu bangun pagi sebelum pukul 05.00. Memulai aktivitas sebelum pukul 5 pagi sudah biasa bagi kami. Tetapi kemudian kami teringat bahwa kami sedang berlibur, jadi tidak ada salahnya kesiangan. Siaran yang didapat kebanyakan televisi Malaysia dan stasiun Indonesia yang tertangkap jelas adalah SCTV.
       Akhirnya kami memutuskan untuk mandi saja karena kami mau keluar mencari makan di Chinatown. Dari Orchard menuju Chinatown kami akan naik MRT karena lebih cepat dan baru jalur itu saja yang kami paham sementara ini.
       Sesampai di Chinatown, baru ada beberapa kedai makanan yang buka. Kedainya mirip seperti yang di foodcourt di daerah Kelapa Gading. Terletak diluar stasiun MRT dan berjejer rapi dengan outlet-outlet kecil dan ditata sangat rapi dan menarik dengan gambar-gambar menu dan daftar harga yang jelas. Umumnya mereka dari keturunan Tionghoa dan dapat berbicara dalam 3 bahasa, Mandarin, Kanton, dan Inggris ala Singapura.
       Sebagai catatan, menu siap saji ditempat-tempat serupa ini rata-rata adalah S$5 perporsi sudah termasuk minuman. Adapun set menunya adalah nasi, 2 macam sayuran dan 1 macam daging plus 1 gelas air minum. Harga 1 gelas minuman baik soft drink maupun jus buah rata-rata adalah S$ 1,5 sampai S$2,5. Harga Aqua botol ukuran 600ml adalah S$1. Merknya benar-benar Aqua dari Indonesia.
       Hari pertama kami berencana mencari penginapan baru di sekitar Chinatown. Kami sudah mempunyai rencana untuk mencari lokasi Hotel Manhanttan Inn di jalan Chin Swee. Pagi itu kami memilih berjalan kaki. Bukan saja karena kami tidak tahu harus naik apa, tetapi karena  jarak antara satu tempat dengan yang lain cukup berdekatan dan jalan-jalan disana benar-benar tidak berdebu. Trotoarnya lebar-lebar dan pohon-pohonnya rindang. Tidak ada sepeda motor yang naik keatas trotoar bahkan nyaris tidak ada sepeda motor yang melaju dijalan.
        Karena sedari awal kami mengadakan perjalanan berbasis budget travel, maka kami kali ini dapat mewujudkannya dengan menyewa Dormitory Room dengan isi 3 ranjang susun yang dapat diisi oleh 6 orang yang tidak saling mengenal. Awalnya  terasa risih, tetapi setelah kami saling mengenal dan mengobrol, akhirnya malah mencair menjadi akrab dan menjadi teman saling berbagi, baik makanan maupun pengalaman. Kami sepakat dengan pembayaran perorang permalamnya S$25 dengan deposit S$50 sebagai jaminan.
       Hari kedua ini kami benar-benar menghabiskan waktu di sekitar Orchard Road. Sangat melelahkan. Mulai dari Wisma Atria kami berjalan menyusuri Wheelock Place, Tangs, Paragon, sampai ION Orchard, belum lagi yang lainnya. Kakiku sampai pegal dan hampir melepuh. Barang-barang branded memenuhi semua department store dan tentu saja, mahal..! Saat itu Outlet Forever 21 sedang mengadakan diskon hingga 70%, kami membeli beberapa sweater wool yang harganya menjadi sekitar Rp.70.000 per-piece.   Kami menyudahi perjalanan itu menjelang sore dan kembali ke hotel dan bersiap untuk night shopping di kawasan Chinatown.
       Suasana Chinatown ramainya luar biasa, sesuai dengan gambaran ala pecinan. Restoran terlihat ngebul semua sementara dagangan souvenir beraneka macam dan berwarna-warni. Jenis terbanyak adalah gantungan kunci dan  kaos I Love SG.  Harganya cukup bersaing antara kios yang satu dengan yang lain. Semakin jauh kita berjalan menyusuri jalan, semakin murah harga yang ditawarkan. Setelah puas menjelajahi kawasan ini, mulai dari Eu Tong Sen Street, Smith Street, Temple Street, dan Pagoda Street, kami kembali ke hotel melewati jembatan penyeberangan yang ramai dikunjungi manula di sana. Tampak mereka berbincang-bincang dan merokok, mungkin bernostalgia dengan sesamanya.
       Hari ketiga, pagi-pagi sekali kami sudah sampai di Boat Quay. Ngak ada apa-apanya tuh! Kalau di bandingkan dengan Semarang Riverpark, tentu kalah jauh. Baik dari luas areal tamannya, maupun alam pendukungnya. Yang mengagumkan seluruhnya mungkin adalah  tertib dan  bersihnya. Sangat bersih dan berkesan nyaman disetiap sudut kotanya. Dari sana kami menuju Merlion Statue dan Marina Bay Sands. Dari sana langsung ke Esplanade Theatre. Perjalanan dilanjutkan dengan MRT ke  Little India untuk menengok langsung kesibukan warga keturunan India. Ramai, hiruk pikuk dan penuh sesak. Mirip-mirip Mangga Dua gitu. Kami tidak melewatkan kunjungan ke Mustafa Center. Menjelang siang, kami langsung ke Vivo City, makan siang dan lanjut ke Pulau Sentosa untuk mengunjungi Resort World. Tapi kami tidak masuk ke Universal Studionya, cuma berpose saja di depan bola dunia yang muter-muter. Kerinduanku luar biasa pada anak-anak dirumah. Bila ada momen baru atau peristiwa apapun yang bisa bikin senang dan mengalami sesuatu yang sekiranya mereka belum alami dan lihat, rasanya aku menginginkan mereka ada bersama-sama kami saat ini.
       Malam harinya kami bertandang ke Red Light Districtnya Singapore, Geylang. Kami turun dari bus 80 di Lorong 1 Geylang Road dan berjalan kaki dikeramaian dan gemerlap malam disepanjang jalan itu sampai Lorong 12. Capek juga, tapi hati senang. Kami makan malam di kedai emperan yang hidangannya full lemak dan kolesterol, perut babi. Tetapi sayang kalau dilewatkan, enak lagi.....!
       Hari keempat, waktunya pulang. Sambil menunggu waktu check-in, kami sempat foot massage dulu. Perjalanan yang berkesan. Budget Travel can be fun!!