Selamat Datang

Selamat membaca. Semoga bermanfaat !

Kamis, 25 Oktober 2012

IN MEMORIAM, PAPA

SATU TAHUN PERINGATAN WAFAT PAPA ( 29 OKTOBER 2011 - 29 OKTOBER 2012 )

       Tak terasa sudah satu tahun berlalu sejak meninggalnya Papa karena komplikasi sakitnya sejak lama.
Saat-saat terakhir Papa sungguh mengenaskan karena sakit diabetesnya yang sudah kronis menyebabkan luka yang sangat serius pada salah satu telapak kakinya. Sementara itu, komplikasi pada ginjal dan paru-parunya semakin menjadi. Belum lagi ditambah kebiasaan Papa yang tidak mau menuruti nasihat dokter untuk minum obat secara teratur. Kami sekeluarga hanya bisa memaklumi dan pasrah pada keadaan.

Tabur bunga 1 tahun peringatan wafat papa.


       Biaya berobatpun semakin membengkak. Untuk mencuci lukanya, kami memakai jasa perawat yang setiap hari datang kerumah. Bila Suster Retno, nama perawat itu, berhalangan datang karena tugasnya di RS Bhakti Yudha, Sawangan, Depok, aku dan Mama turun tangan mencuci luka Papa. Kami bisa melakukannya karena terbiasa melihat pekerjaan perawat. Papa juga bukan kali ini saja mengalami luka dikakinya. Bertahun-tahun yang lalu pun Papa sering terluka dan kami terkadang merawatnya sendiri karena lukanya tidak terlalu luas. Bahkan Papa pernah sekali menjalani amputasi pada salah satu jari kakinya. Saking seringnya Papa harus menjalani perawatan, baik dirumah sakit, di klinik ataupun dirumah, kami sampai memiliki semua alat-alat penunjang untuk merawat luka, mulai dari gunting, pinset, perban, kasa panjang, kapas, larutan infus, sampai kami berlangganan dengan salah satu distributor obat dan alat kesehatan di Depok supaya bisa memperoleh harga lebih murah. Karena kami membeli dalam jumlah cukup banyak sehingga dapat memperoleh harga grosir.
       Tiga bulan terakhir hidup Papa, ia harus menerima suntikan antibiotik setiap hari selama 5 kali berturut-turut, lalu istirahat 3 hari, kemudian suntikan dilanjutkan kembali. Sedangkan pemeriksaan laboratorium dilakukan seminggu 2 kali. Sebenarnya ada banyak obat yang harus diminum oleh Papa, tetapi beliau menolak meminum semuanya. Hanya sebagian obat saja yang mau diminumnya. Dia akan menggelengkan kepala tanda ia tak mau atau menolak.
       Kondisinya sangat memilukan. Papa mengalami sesak nafas yang menyebabkannya sulit berbicara. Dua minggu sebelum kepergiaan Papa, kami memakai jasa perawat khusus untuk orang sakit yang tinggal dirumah sepanjang waktu. Kami menyadari keadaan Papa yang makin kritis. Papa sudah sering mengalami kejang dan demam tinggi. Papa sudah tidak mau lagi dirawat di RS sejak terakhir kali dirawat sekitar bulan Agustus yang lalu. Dengan pertimbangan itulah kami meminta Ibu Tini, panggilan dari Ibu Christina Sutini untuk merawat Papa sampai hari terakhirnya. Ibu Tini sosok perawat senior yang sangat sabar dan pengertian. Ia yang membantu Mama mengurusi Papa mulai dari mandi, berkemih sampai buang hajat yang sudah Papa lakukan di tempat tidur.
       Tepat satu minggu sebelum kepergiannya, Papa berpesan agar ia dikremasikan dan abunya dilarungkan di laut. Papa berpesan dalam suara yang sangat parau dan nafas yang terengah-engah. Itulah pesan terakhirnya karena sejak saat itu, Papa sudah sangat susah menelan makanan apalagi berkata-kata. Berat badannya turun drastis. Papa yang dahulu gagah dengan tinggi 172 cm dan berat 80 kg, kini tinggal 55 kg dengan tulang hanya dibalut kulit saja. Aku masih menangis bila mengingat saat terakhir Papa. Kami mempersiapkan semua keperluan lainnya, mulai dari setelan jas dan celana Papa yang akan dipakai untuk terakhir kalinya, semua sesuai dengan permintaannya. Kami membeli sandal baru, selimut tebal baru serta menghubungi pihak rumah duka untuk mencari informasi. Betapa pilu saat itu karena kami mempersiapkan segala sesuatu untuk kepergian Papa untuk selama-lamanya.
       Sampai pada hari terakhir Papa, beliau tidak mau dibawa ke rumah sakit. Papa koma pada pukul 13.30 dihari Sabtu tanggal 29 Oktober 2011 ditemani adikku dirumahku yang di Depok. Aku dan mama berada di Cibinong. Pukul 17.00 aku sampai di Depok bersama suamiku. Papa tidak bereaksi apa-apa selain nafasnya yang sudah mengeluarkan suara mengorok. Matanya terbuka, tetapi sudah tampak tidak bercahaya. Aku berdoa dan memegangi tangannya. Aku menangis sejadi-jadinya. Kami berbicara padanya seakan-akan Papa masih bisa mendengar kami. Mungkin Papa sedang menunggu kedatangan Mama. Pada saat Papa mendengar suara mobil yang ternyata supirku yang datang, Papa meneteskan airmata. Ternyata benar, ia menunggu kedatangan Mama. Tetapi Mama tidak bisa datang karena keadaan mentalnya yang sangat tertekan sehingga mempengaruhi kesehatan fisiknya. Ibu Tini saat itu aku minta menemani Mama. Ibu Tini tampak keberatan dan ingin menyertai Papa, tapi aku memintanya tetap tinggal di Cibinong. Dihari-hari terakhir hidup Papa, akupun hampir kehiIangan Mamaku. Ibu Tini menangis karena sedih dan ia sangat menyesal dikemudian hari karena ia tidak diperbolehkan menemani Papa olehku sampai saat terakhirnya karena harus menjaga Mamaku. Ibu Tini juga beragama Katolik sepertiku. Ia berdoa tiada henti sepanjang siang sampai malam harinya.
       Pukul 20.00 aku mengganti pakaian Papa dan mencuci lukanya serta menggantikan perbannya dengan yang  baru. Aku masih sempat memeriksa kadar gulanya yang pada saat itu mencapai angka 16. Papa sudah drop dan tak mungkin bisa bertahan lebih lama lagi. Tepat pukul 20.30 Papa bersin sampai 3 kali. Aku sempat tersenyum-senyum karena Papa bersin keras sekali. Setelah itu, Papa tampak sulit bernapas dan ia berusaha sangat keras menghembuskannya untuk yang terakhir kali. Kami merelakan kepergiannya karena penderitaannya yang sangat berat. Aku tidak menangis lagi pada saat itu tetapi mendoakannya agar Papa dapat menemukan kebahagiaan abadi di surga.
       Ada kelegaan karena penderitaannya telah berakhir. Sepanjang malam itu menjadi sesuatu yang bagiku seperti berada antara nyata dan tidak nyata. Aku menghubungi sanak saudara dan teman untuk mengabarkan kepergian Papa. Kami memanggil ambulan untuk membawa jenazah Papa ke rumah duka. Sesampai disana, kami menunggu visum dokter dan memandikan jenazah serta menyuntikkan cairan formalin. Setelah semua selesai, kami mengadakan ibadat secara Katolik, menurut agama kepercayaanku yang dihadiri oleh teman-teman dari Lingkungan St. Norbertus. Malam itu terasa panjang dan lama. Aku merasakan sakit kepala yang hebat sampai telingaku sulit mendengar, tetapi aku tidak mengeluh dan tetap menemani para pelayat sampai pk. 24.00. Malam itu yang berjaga di rumah duka adalah adik dan supirku.
       Keesokkan harinya, pk. 06.00 aku sudah ada dirumah duka untuk mengurusi segala keperluan ibadat Papa menurut agama kepercayaannya, Konghucu. Puji Tuhan, sang pemimpin upacara ternyata adalah anak dari sahabat mertuaku. Jadilah kami berteman dan terbuka serta dapat bekerja sama dengan baik. Kabarnya bila dengan pemimpin upacara lain, biayanya cukup besar serta mereka mengajukan syarat dan permintaan yang cukup merepotkan. Dalam tradisi orang Tionghoa, semua permintaan tidak boleh ditawar apalagi ditolak. Tetapi dengan orang ini, kami berkomunikasi dua arah dengan baik dari segi persiapan, jalannya upacara sampai rincian biaya yang harus kami keluarkan.
       Papa disemayamkan selama tiga malam. Hari Selasa pagi, beriringan kami menuju ke Cilincing untuk mengkremasikan jenazah. Saat itu untuk pertama kalinya, aku dan adikku duduk didalam ambulan yang membawa jenazah serta diiringi sirene dari patroli polisi yang mengawal mobil ambulan.
       Kremasi berlangsung lancar hanya sekitar 1,5 jam dan dihadiri oleh banyak sanak saudara. Mereka menangisi kepergian Papa dan meratapi penderitaannya. Pada akhirnya, semua lega karena kini tidak ada lagi penderitaan baginya, tetapi hanya kebahagiaan abadi. Kami melarungkan abunya di laut Jawa. Pihak krematorium menyediakan semua akomodasi sehingga kami tidak perlu repot lagi.
       Sejak dari saat Papa menghembuskan nafas terakhirnya hingga saat itu, aku tidak banyak menangis. Baru setelah semua sudah usai, aku bersama keluarga pulang kerumah, airmataku berderai. Semua tempat mengingatkanku pada Papa. Semua momen memberiku ruang untuk memikirkannya. Aku tidak pernah berhenti memikirkan Papa sampai tiga bulan kepergiannya. Aku banyak merenung dan menyesali tindakanku dahulu terhadap Papa. Aku bahkan baru menyadari sesadar-sadarnya, Papa tidak akan pernah kembali dalam hidupku. Aku tidak dapat menahan kesedihanku bahkan saat ini, setahun setelah Papa pergi.
       Putraku memimpikan Papa pada hari ke tujuh Papa meninggal. Tampak Papa datang entah dari mana dan mengunjungi kami di Cibinong. Anakku bertanya,"Kung, dari mana?" Kung-kung adalah panggilan untuk kakek." Mau main aja sebentar" jawab Papa. Lalu beliau bergegas pergi dan berjalan dengan gesit seperti saat Papa masih sehat dahulu. Papa berjalan kearah tembok dekat pagar rumah. Anakku berteriak," Kung, mau kemana?" Tetapi Papa hanya tersenyum dan menghilang di balik tembok. Anakku terbangun dan menceritakannya padaku. Dia bilang,"Kung-kung tidak pincang, jalannya cepat dan mukanya berseri-seri".
Ada kebahagiaan dan sekaligus haru dalam diriku. Semoga Papa sudah menemukan kebahagiaan abadi disana, lewat mimpi tersebut kupikir Papa mau memberitahu kami bahwa keadaannya baik-baik saja.
       Hari ini kami kembali ke laut Jawa untuk menaburkan bunga tanda kasih kami yang tidak akan pernah berakhir walau maut telah memisahkan kami. Mama berdoa sepanjang perjalanan dalam kapal motor yang kami sewa, demikian juga adikkku dan tunangannya. Kami khusuk dan membatin. Masing-masing dari kami memiliki memori tersendiri terhadap mendiang Papa.
       Sampai saat ini, hubungan kami dengan Suster Retno dan Ibu Tini tetap baik. Terutama dengan Ibu Tini yang kebetulan sama-sama Katolik. Beliau menggelar ibadat 100 hari Papa di rumahnya di Ngawi. Bahkan seminggu yang lalu, Ibu Tini menelpon aku untuk mengingatkan kami pada peringatan Satu Tahun Papa. Betapa besar karunia Tuhan pada kami sekeluarga. Dalam kehilangan yang besar, kami dikuatkan bersama orang-orang lain yang mencintai kami bahkan kami mendapatkan saudara baru. Puji Tuhan.
       Yang saat ini dan seterusnya yang akan kuingat adalah masa-masa bahagia Papa bersama kami, senyumnya, tawanya, candanya dan nasehat-nasehatnya. Biarlah segala sedih dan susah pergi berganti suka cita kegembiraan karena kami percaya, Tuhan telah menyelamatkannya dan memberinya tempat terbaik di surga. Kami selalu merindukanmu dan menyayangimu...

TABUR BUNGA 2 TAHUN PAPA ( 3 NOVEMBER 2013 )