Didekat tempat tinggalku di daerah Bojong, tepatnya di Jalan Raya Tegar Beriman atau yang lebih dikenal Jalan Baru Pemda Cibinong yang mengarah ke Bojonggede, setiap minggunya selalu dipenuhi pedagang kaki lima. Keramaian ini baru bermula sekitar awal tahun 2013. Keramaian seminggu sekali ini disebut Pasar Tumpah Pemda Cibinong. Disebut Pasar Tumpah Pemda Cibinong karena para pedagang ini sebelumnya berdagang di sepanjang jalan Pemda Cibinong terutama disekitar lokasi Kantor Bupati.
Karena alasan kemacetan yang disebabkan oleh lapak para pedagang serta alasan memelihara kebersihan, keindahan serta ketertiban, Pasar Tumpah dipindahkan ke jalur jalan yang mengarah ke Bojonggede.
Para pedagang kaki lima ini menguasai 2 lajur utama di jalur cepat untuk menggelar lapak-lapak dagangan mereka. Tak ketinggalan, mereka juga memasang tenda model bongkar pasang untuk menaungi dagangan mereka dari sengatan panas matahari dan juga air hujan. Sementara itu, mereka memarkir kendaraan yang kebanyakan berupa sepeda motor, hanya sebagian yang memakai mobil sebagai kendaraan operasional di pinggir jalan khususnya di jalur lambat. Sedangkan kendaraan milik pengunjung yang juga tak kurang banyaknya, memenuhi setengah badan jalan di jalur lambat tempat para pedagang juga memarkir kendaraan mereka. Bisa dibayangkan betapa macetnya lalu lintas pada setiap hari minggu pagi ditempat ini.
Pemandangan seperti itu lumrah terjadi setiap hari Minggu. Bahkan tidak jarang para pedagang memanfaatkan mobil milik mereka yang dimodifikasi menjadi kantin berjalan, toko berjalan bahkan ada juga showroom motor berjalan. Sepintas terlihat bahwa pedagang kaki lima sekarang bukan lagi pedagang marjinal yang mencari rezeki dengan modal seadanya. Banyak diantara mereka yang ternyata memiliki toko ditempat lain tetapi selalu menjadi partisipan setia setiap minggunya. Alasannya adalah pasar kaki lima pasti ramai pengunjung dan omzet penjualannya cukup lumayan.
Ada beberapa pedagang yang berkecimpung dalam perdagangan kaki lima dalam kurun waktu cukup lama. Salah satunya adalah pedagang pakaian dalam yang sudah mulai berdagang sejak 7 tahun yang lalu. Namanya Mama Onit. Onit adalah nama putri bungsu ibu ini. Dia dan suaminya datang membawa dagangannya dari Citeureup sejak pukul 05.00 dan berakhir pukul 14.00. Omzetnya terbilang lumayan bila dilihat dari penampilan sang ibu yang sebentar-sebentar sibuk dengan telpon genggam Blackberry-nya, berbicara pada para pelanggannya dengan antusias.
Ada juga seorang bapak yang mempunyai lapak tas wanita. Bapak ini sebenarnya adalah pensiunan pegawai negeri yang memiliki dua orang putera yang masih duduk dibangku kuliah dan memiliki bisnis jual beli tas secara online. Mereka berasal dari Depok dan sudah datang pagi-pagi sekali memakai kendaraan pribadi mobil Avanza. Menurut pengakuannya, dalam sehari tersebut dia bisa menjual sampai 50 buah tas.
Lalu ada lagi seorang ibu yang menjual minuman susu sari kacang kedelai sejak tahun 2000. Ibu ini sampai bisa membeli sebuah rumah cicilan di Sawangan, Depok karena berdagang susu sari kacang kedelai serta membiayai dua orang putrinya disebuah sekolah menengah atas swasta favorit di Depok.
Setiap pedagang dikenai retribusi sebesar Rp. 10.000. Biaya parkir kendaraan tidak termasuk didalamnya. Parkir dikelola oleh penduduk disekitar lokasi. Mereka yang merasa orang asli setempat dan rata-rata profesinya adalah tukang ojek, tukang bangunan, pemilik warung dan sebagian lagi pengangguran, ramai-ramai bangun pagi-pagi untuk menjadi tukang parkir dadakan. Dengan bermodal pluitan seharga Rp. 1.000, jadilah mereka penjaga parkiran motor dan mobil disepanjang jalan. Apa yang mereka lakukan ini,
dalam istilah orang setempat disini, uang sewa lahan karena sudah memasuki wilayah mereka.
Tidak sedikit juga yang tergerak otak bisnisnya. Banyak juga ibu-ibu yang menjadi pedagang nasi uduk dadakan sekedar ikut-ikutan dalam keramaian. Tetapi karena niatnya yang lebih besar kepada rasa penasaran semata, yakni penasaran mengapa orang lain dari luar bisa maju ditempat ini, sedangkan mereka yang orang asli sudah seharusnya lebih menguasai situasi, tetapi kenyataannya tidaklah demikian, umumnya usaha mereka tersebut hanya hangat-hangat tai ayam. Mungkin tidak didukung modal SDM berupa ketrampilan dan jiwa wira usaha yang tangguh. Hanya ada satu dua saja yang tetap bertahan karena memang sudah menjalankan profesi ini turun temurun.
Intinya, dalam sebuah keramaian yang terjadi dimana banyak pihak yang terlibat akan melahirkan perspektif bagi masing-masing pihak yang terlibat, khususnya dalam masalah ramainya pedagang kaki lima. Para pedagang merasa mereka berhak memakai jalur jalan umum karena mereka membayar retribusi. Para pengelola yang merupakan orang-orang Pemda dan Desa setempat merasa bahwa mereka memiliki kewenangan atas lahan yang dipakai sehingga menarik retribusi dari para pedagang. Para penduduk setempat diareal lokasi merasa bahwa mereka punya hak atas wilayah tempat tinggal mereka sehingga merekapun menarik retribusi dari para pedagang. Ada satu lagi kelompok yang merasa berhak menarik retribusi dari para pedagang juga yakni para jago atau preman setempat yang berdalih menjadi keamanan dan ketertiban. Dari semuanya itu, pihak yang paling banyak berkorban adalah pedagang, karena harus membayar retribusi kepada berbagai pihak.
Semakin siang pengunjung mulai berkurang. |
Pada awal bulan Juli 2013 akhirnya Pasar Tumpah ini dipindahkan lagi ke Bilabong, menempati sepanjang boulevard raya didepan perumahan tersebut. Jalan raya kini sepi dan lengang. Kangen juga rasanya dengan keramaian dan hiruk-pikuk. Oh, Pasar Tumpah...kapan kiranya kembali lagi kemari?